Kepala PPATK: Penanganan Kejahatan Ekonomi Belum Optimal

| 5

 

JAKARTA – Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae menyebut bahwa penanganan kejahatan ekonomi belum sepenuhnya optimal. Karena itulah, dorongan untuk pengenaan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) serta upaya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi krusial. Hal ini disampaikan Kepala PPATK, Dian Ediana Rae dalam menjawab pertanyaan yang diajukan sejumlah anggota Komisi III DPR pada Rapat Dengar Pendapat, Rabu, 24 Maret 2021.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Adies Kadir, Kepala PPATK antara lain menjawab pertanyaan mengenai selisih (gap) yang besar antara jumlah laporan transaksi yang diterima PPATK dengan produk Hasil Analisis dan Hasil Pemeriksaan. Tercatat, sepanjang tahun 2020 PPATK total menerima 68.057 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), 2.738.598 Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), 6.829.607 Laporan Transfer Dana dari/ke Luar Negeri (LTKL), 32.239 Laporan Transaksi Penyedia Barang dan/atau Jasa Lainnya (LTPBJ), dan 917 Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT). Sedangkan, proses analisis dan pemeriksaan dari laporan transaksi tersebut “hanya” menghasilkan 686 Hasil Analisis (HA) dan 24 Hasil Pemeriksaan (HP) yang telah didiseminasikan kepada Lembaga Penegak Hukum terkait. Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh anggota Komisi III DPR RI, Ichsan Soelistio.

Kepala PPATK menjawab bahwa tidak semua laporan transaksi yang diterima PPATK akan berujung pada tindak pidana. Laporan transaksi yang terindikasi tindak pidana akan disampaikan pada penegak hukum. Di sisi lain, ketiadaan indikasi tindak pidana akan menempatkan laporan tersebut dalam basis data PPATK. Kepala PPATK mencontohkan, bila ia menerima sejumlah uang di atas Rp 500 juta, maka namanya akan masuk dalam basis data PPATK. Baginya, hal ini tidak akan menjadi masalah apabila memang aliran dana tersebut bersumber dari pendapatan yang legal dan dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan slogan PPATK, “Kalau Bersih Kenapa Risih”.

“Bila nama saya dan sejumlah nama lainnya kemudian masuk dalam basis data PPATK, juga tentu tidak lepas dari status sebagai Politically Exposed Person atau PEP,” lanjutnya.
Ia juga menjawab sejumlah pertanyaan anggota Komisi III DPR RI terkait peran PPATK dalam pembekuan rekening eks ormas Front Pembela Islam (FPI). Termasuk juga dalam hal ini, cukup vokalnya PPATK dalam menyampaikan pembekuan rekening FPI dan afiliasinya. Sementara dalam kasus lainnya, peran PPATK cenderung tidak terlihat.

Kepala PPATK, Dian Ediana Rae menekankan bahwa aktivitas penghentian sementara transaksi yang dilakukan oleh PPATK adalah hal yang wajar, dan sudah sesuai dengan kewenangan PPATK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Ia menjelaskan bahwa PPATK tidak pernah menyampaikan detail dari aktivitas penghentian sementara tersebut, dan kini sudah disampaikan kepada penyidik berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan PPATK.

“Penyampaian peran PPATK dalam aktivitas penghentian sementara transaksi, penelusuran aliran dana mencurigakan, dan seluruh kerja lainnya juga disampaikan kepada publik tidak hanya dalam konteks ormas tertentu, tetapi juga untuk perkara-perkara lainnya yang melibatkan peran PPATK,” tegas Dian.

Mantan Kepala Perwakilan Bank Indonesia di London ini juga menjawab sejumlah pertanyaan yang menganggap bahwa RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal berpotensi menghambat aktivitas ekonomi di daerah, yang cenderung masih berbasis tunai. Dorongan terhadap pengesahan RUU ini dikhawatirkan justru kontraproduktif di tengah pembangunan ekonomi negara yang sedang gencar dilakukan.
Kepala PPATK menjelaskan bahwa substansi RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal justru mengarah pada upaya memperkuat integritas dan stabilitas sistem perekonomian dan sistem keuangan. Fakta menunjukkan bahwa uang tunai kerap digunakan sebagai sarana kejahatan, dan pembatasan transaksinya menjadi hal yang tepat guna mempersempit ruang gerak pelaku kejahatan.

“Limit dari pembatasan transaksi adalah Rp 100 juta, angka yang sebenarnya sangat besar bila harus dilakukan secara tunai. Selain itu, terdapat sejumlah pengecualian dalam RUU yang membuatnya tidak akan merugikan aktivitas perekonomian di seluruh wilayah Indonesia,” pungkasnya.

Turut hadir dalam RDP Deputi Bidang Pencegahan, Muhammad Sigit, Deputi Bidang Pemberantasan, Ivan Yustiavandana, Sekretaris Utama, Rinardi, dan jajaran pejabat Eselon II di lingkungan PPATK. (TA)

Submit