Penelusuran TPPU, Kejar Asetnya!

| 0

Foto bersama dari kiri ke kanan: Peter Halpern, Harli Siregar, Daniel T. Monang Silitonga, Kiagus Ahmad Badaruddin, Noor Rachmad, Dian Ediana Rae, dan Akhyar Effendi (Foto: RTP)

 

DEPOK -- Pelaksanaan asset recovery dalam penelusuran tindak pidana pencucian uang, khususnya terkait foreign predicate offences pada praktiknya di Indonesia masih sangat minim. Berbagai kendala menyertai dalam prosesnya, seperti kesulitan koordinasi antar lembaga penegak hukum. Kendala koordinasi tersebut ditemui baik dalam tahap penanganan perkara maupun ketika didapatkan laporan dari penegak hukum dari luar negeri terkait adanya aset yang diduga berasal dari tindak pidana yang dilakukan di luar negeri. Hal ini disampaikan oleh Kasubdit Pra Penuntutan Direktorat Keamanan Negara Tindak Pidana Umum Lainnya Kejaksaan Agung, Harli Siregar dalam Seminar Internasional terkait Foreign Predicate Offences di Institut Intelijen Keuangan Indonesia, Rabu (31/10).

“Ada juga kendala teknis seperti permasalahan ketidakjelasan asal dari aset tersebut. Bila tidak diatasi, sangat rentan timbul kesalahan dalam pengembalian aset kepada pemiliknya, yang bisa menimbulkan gugatan kepada negara di kemudian hari,” ujar dia.

Harli menambahkan, perbaikan sinergi dari lembaga penegak hukum memang menjadi suatu keniscayaan, seperti upaya membentuk wadah atau komunitas bersama dalam kaitannya dengan penangangan asset recovery yang tindak pidana asalnya berasal dari luar negeri.

Harli Siregar tidak luput menambahkan rekomendasi terkait optimalisasi pemanfaatan teknologi informasi dalam pengungkapan TPPU, apalagi yang bersifat lintas negara. “Saat ini, teknologi dimanfaatkan sebagai sarana kejahatan. Ini yang paling sulit. Besar harapan penegak hukum bahwa PPATK mampu mengembangkan lebih jauh tentang perkembangan digital forensik.”

 “Kejaksaan juga telah memiliki Pusat Pemulihan Aset yang memiliki tugas utama dalam kegiatan pemulihan aset sekaligus berkoordinasi dengan jaringan nasional maupun internasional dalam rangka penanganan asset recovery,” lanjut Harli.

Perlunya penguatan kerja sama penegak hukum diamini oleh Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Daniel T Monang Silitonga. Ia menyampaikan, penanganan TPPU secara optimal sangat sulit dilaksanakan sendirian. Koordinasi Direktorat Tipideksus Polri dengan PPATK sudah begitu sering dilakukan untuk pengungkapan perkara TPPU.

“Dalam menangani perkara pembobolan bank di Singapura, kami menerima input yang begitu berharga dari PPATK,” katanya.

Seminar internasional ini melibatkan peserta yang merupakan penyidik dari Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi, Detasemen Khusus 88 Polri, dan sejumlah hakim yang turut berpartisipasi.

Seminar internasional ini juga dihadiri oleh tidak kurang peserta dari 10 (sepuluh) negara yang meliputi Amerika Serikat, Australia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Rusia, Belanda, Inggris, dan Korea Selatan. (TA)

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar