Kepala PPATK: Rezim APUPPT Dibangun dengan Komitmen Kerja Nyata Seluruh Pihak

| 0

 

TANGERANG – Pada hakikatnya, keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, hingga rezim anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APUPPT) merupakan tanggung jawab seluruh komponen, baik itu Pihak Pelapor, Lembaga Pengawas dan Pengatur, Lembaga Intelijen Keuangan, Lembaga Penegak Hukum, dan seluruh lembaga terkait lainnya. Sekalipun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) disebut sebagai focal point di bidang tersebut, komitmen dan kerja sama seluruh pihak sangat dibutuhkan guna memastikan kerja di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, tindak pidana pendanaan terorisme, dan tindak pidana ekonomi terkait lainnya dapat berjalan dengan optimal.

Hal itu disampaikan oleh Kepala PPATK, Dian Ediana Rae, saat membuka kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Kick-off Meeting Penyusunan Governance dan Operational Alert Public-Private Partnership, Tangerang, Kamis, 27 Mei 2021. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari peluncuran kegiatan Public-Private Partnership (PPP) yang diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Mahfud MD pada Desember 2020 lalu. PPP menjadi hal yang penting sebagai cara menangani persoalan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana ekonomi lainnya yang semakin kompleks dan bersifat transnasional.

“PPP merupakan salah satu upaya merealisasikan rezim APUPPT menjadi lebih sistemik, lebih breakthrough, agar kita dapat lebih cepat dalam memecahkan persoalan TPPU dan segala jenis kejahatan ekonomi lainnya,” kata Kepala PPATK.

Kepala PPATK juga menyampaikan bahwa Indonesia kini juga sedang proses menghadapi Mutual Evaluation Review (MER), suatu penilaian kepatuhan Indonesia terhadap standar internasional APUPPT. Keberhasilan melalui MER akan memuluskan jalan Indonesia yang sedang dalam upaya menjadi anggota penuh organisasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Salah satu ukuran penilaian adalah tidak ditemukannya kesenjangan antara penanganan TPPU dengan tindak pidana asal. 

“Bila data penanganan perkara menunjukkan kesenjangan atau inkonsistensi antara TPPU dan tindak pidana asal, akan menimbulkan pertanyaan besar apakah Indonesia sudah serius dalam mematuhi standar internasional APUPPT yang berlaku,” lanjut Dian.

Kepala PPATK menguraikan lebih lanjut bahwa di samping upaya membawa Indonesia menjadi anggota FATF, konsistensi pengenaan pasal TPPU dalam setiap pengusutan tindak pidana asal juga diyakini dapat mengoptimalkan pengembalian kerugian negara. Tidak lupa, pengenaan pasal TPPU diharap menimbulkan deterrence effect agar tiap orang tidak berniat melakukan suatu tindak kejahatan.
“Dalam praktiknya, negara-negara yang sempat kewalahan menumpas kejahatan narkotika akhirnya mengenakan pasal pencucian uang dalam mengoptimalkan penegakan hukum sekaligus perampasan asetnya. Pada akhirnya, pengenaan pasal TPPU dalam pengusutan tindak pidana ekonomi menjadi international norm/standard,” lanjut Doktor di Bidang Hukum Ekonomi Universitas Indonesia ini.

Kepala PPATK Dian Ediana Rae juga mengapresiasi atas komitmen nyata yang ditunjukkan sejumlah pimpinan lembaga penegak hukum seperti Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, dan pimpinan sejumlah lembaga terkait lainnya. Ia berharap sinergi positif terus terbangun, baik dalam konteks Public-Private Partnership, menghadapi Mutual Evaluation Review, dan segenap kerja nyata lainnya dalam rangka penguatan rezim APUPPT di Indonesia. (TA)

Submit