Di balik Pagar Tribun: Menilik Pencucian Uang dalam Industri Sepak Bola

| 0

https://img.inews.id/media/822/files/inews_new/Multimedia/2018/12/28/28_mafia_1.jpg

 

Berkembangnya berbagai bentuk pencucian uang, membuat beberapa industri dapat menjadi wadah  dalam proses ini. Seiring dengan hal tersebut, industri yang sebelumnya dianggap tabu untuk terlibat dengan proses tersebut, menjadi salah satu industri yang berisiko tinggi menjadi wadah pencucian uang. Salah satu industri tersebut adalah industri sepak bola. Sepak bola yang merupakan olahraga populis hampir di seluruh dunia, memainkan peran penting dalam pendapatan sektor global. Tidak lagi hanya murni menjadi ranah olahraga, sepak bola kini telah menjelma menjadi satu sektor industri, dengan arus keuangan yang patut diperhitungkan. Perubahan ini terjadi di berbagai belahan dunia, hingga di dalam negara berkembang seperti Indonesia.

Perkembangan sepak bola di Indonesia, dapat dikatakan tidak berjalan dengan sempurna. PSSI, sebagai induk pusat sepak bola Indonesia sempat dibekukan selama satu musim di tahun 2015-2016. Pembekuan PSSI oleh Kemenpora dan FIFA kala itu merupakan hasil dari penyimpangan yang telah dilakukan fedarasi tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama. PSSI sebagai institusi resmi tentu memiliki tanggung jawab penuh terhadap pertandingan dan juga pengawasan regulasi klub sepak bola, baik yang berada di Liga 1, Liga 2, maupun Liga 3. Isu yang berkembang hingga saat ini ialah match fixing pada pertandingan sepak bola di Liga Indonesia. Match fixing adalah sebutan untuk pola pengaturan skor pertandingan sepak bola yang terjadi di dalam pertandingan olahraga baik bersifat major ataupun minor (FATF: 2009)

Pengaturan skor sepak bola pun menjadi salah satu gagasan lanjutan yang merujuk pada pola pencucian uang di dalam ranah olahraga. FATF menyebutkan bahwa jika kita ingin memeriksa pencucian uang melalui olahraga, sepakbola adalah kandidat yang jelas. Sepak bola sejauh ini merupakan olahraga terbesar di dunia. Ada 38 juta pemain terdaftar dan 5 juta wasit serta pejabat yang terlibat. Sepak bola dapat mengandalkan basis dukungan yang luas, mulai dari penggemar setia yang menghadiri pertandingan mingguan klub mereka, hingga sponsor yang terus-menerus memberikan dana. Penjelasan mengenai pencucian uang sebagai bentuk kejahatan lanjutan di dalam sepak bola, mayoritas berasal dari tindak pidana korupsi. FATF menyimpulkan, bahwa semakin berkembangnya korupsi di dalam sepak bola, terkait dengan pola industrialisasi yang terjadi di dalamnya. Pola ini akan merujuk pada organized crime (kejahatan terorganisasi), yang berarti bahwa pola kejahatan di dalam sepak bola tidak bisa dilakukan hanya oleh satu pihak. Hal ini dapat disempurnakan dengan berbagai jaringan kejahatan sepak bola antar negara, seperti perjudian bola hingga pengaturan skor laga internasional.

Kejahatan asal yang membawa kepada tindakan pencucian uang di dalam sepak bola pun merujuk kepada beberapa pihak yang dianggap terlibat di dalamnya. Secara umum, pihak-pihak tersebut ialah: asosiasi pengurus sepak bola di setiap negara; klub yang merupakan bagian inti dalam industri sepak bola; pemain sepak bola yang ditempatkan sebagai aset; perusahaan sponsor sebagai pihak investor; agen sepak bola sebagai pihak ketiga dalam bursa transfer pemain; pemerintah serta otoritas pajak. Pihak tersebut adalah mereka yang dianggap sebagai bagian penting dalam pola kejahatan di dalam sepak bola. Kemudian, pihak pendukung yang keterkaitannya bersifat situasional antara lain: media; investor individual; serta pemilik properti di sekitar tempat berlatih atau stadion sepak bola. Pihak-pihak tersebut memainkan perannya masing-masing di dalam batasan mereka.

Melalui tindak pidana awal, pencucian uang terbesar yang dapat dilakukan di dalam sepak bola dengan cara menjadi pihak sponsor baik dari perusahaan ataupun secara individu. Hal ini dilakukan karena mudahnya pemberian dana dan akuisisi pihak sponsor di dalam klub. Kemudian, pemberian sponsor pun dapat menjadi bisnis baru yang keuntungannya akan meningkat dibandingkan tindak pidana awal yang dijalankan. Hal tersebut dapat terjadi karena pihak sponsor adalah pihak yang mampu terlibat secara masif di dalam sebuah klub terutama untuk menunjuang finansialitas serta pembuatan aset tetap seperti kamp latihan hingga stadion. Maka penting untuk melihat sponsorship sebagai bisnis lanjutan yang didasari pada pencucian uang.

Selain itu, FATF (2014) melaporkan bahwa pencucian uang juga dapat terjadi melalui adanya akuisisi dan investasi klub sepakbola; pembelian dan transfer pemain internasional; akuisisi dan penjualan tiket permainan; taruhan serta penyalahgunaan hak gambar serta iklan. Akusisi dan investasi klub sepak bola selalu berkaitan dengan pembelian saham oleh beberapa individu. Hal ini seringkali dilakukan untuk tujuan bisnis yang lebih besar. Pembelian saham juga merupakan landasan awal seseorang mampu mengatur pembentukan sebuah klub. hal ini seringkali dilakukan dengan menjadikan kegiatan berikutnya sebagai agenda yang harus dilaksanakan. Salah satu kasus yang masih diperhitungkan hingga kini adalah keterlibatan Roman Abrahamovic sebagai pemilik Chelsea Football Club, dalam skandal pencucian uang akibat kerjasamanya dengan organisasi kriminal. Hal tersebut membuatnya memiliki keterbatasan untuk memasuki beberapa negara di dunia, seperti Swiss. Fenomena ini pun marak pula terjadi di Indonesia. KPK telah mengusut para CEO hingga pemilik klub sepak bola Liga 1 hingga Liga 3. Dengan berbagai tuduhan, para pemilik klub merupakan pengusaha yang terindikasi melakukan korupsi dan kemudian menjadi CSR di dalam klub sepak bola.

Bisnis yang dijalankan pun tidak berhenti hingga taraf kepemilikan klub. Pada bursa transfer yang melibatkan pemain asing, risiko pencucian uang dapat terjadi melalui agen pemain. Agen akan menjadi perantara hingga pengelolaan keuangan pemain hingga ia menjadi pemain tetap di dalam klub. FATF menjelaskan akan terjadi bias pembayaran pajak serta arus transaksi antara pemilik klub sebagai penerima dan pemberi dana hingga pihak sponsor. Transaksi yang dilakukan oleh agen sebagai pihak ketiga, cenderung sulit terlacak oleh FIFA karena para agen telah memiliki komunitas nya sendiri yang menguatkan kembali dugaan kejahatan terorganisasi.

Terakhir, risiko pencucian uang yang berada dalam sektor perjudian ataupun taruhan adalah kegiatan akif yang paling sering terjadi di dalam liga seluruh dunia. Perjudian adalah salah satu langkah untuk melaksanakan match fixing seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Perjudian pun pada akhirnya mendorong perilaku tidak etis seperti penyuapan wasit, pejabat, atau pemain untuk memperbaiki pertandingan atau memengaruhi posisi klub di dalam liga. Pembangunan fasilitas olahraga dan pembelian peralatan dalam jumlah besar memberikan ladang yang subur untuk korupsi dalam pengadaan. Jika perjudian telah masuk ke dalam pola sistematis pertandingan, maka afiliasi yang terjalin pun akan semakin kuat dan cenderung sulit untuk dilacak.

Berbagai tipologi pencucian uang yang terjadi di dalam sepak bola adalah salah satu bentuk bisnis yang terorganisir. Pelibatan berbagai pihak membuat hal ini sukar untuk diselesaikan. Pendisiplinan seluruh pihak terkait melalui aturan FIFA seringkali tidak diturunkan secara baik di dalam peraturan sepak bola setiap negara. PSSI yang telah mengeluarkan aturan resmi dalam kode disiplin pun dirasa tidak mampu menyentuh jaringan kejahatan dalam sepak bola Indonesia. Kemudian, tingginya minat masyarakat terhadap sepak bola akan membuat industri ini tidak akan kehilangan pangsa pasar terbaiknya, yaitu para supporter yang selalu membantu perputaran arus uang di dalamnya.

 

 

 

Referensi

De Sanctis, Fausto Martin. (2014). Football, Gambling, and Money Laundering: A Global Criminal Justice Perspective. Sao Paulo: Springer.

FATF (Financial Action Task Force) & GAFI (Groupe d'action Financiere). (2009). Money Laundering through the Football Sector . Paris: FATF/OECD.

Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhaap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama.

PSSI . (2018). Kode Disiplin PSSI 2018. Jakarta: PSSI.

 

Sumber Pendukung Lain

Hardoko, Evan. Diduga Terlibat Pencucian Uang, Roman Abrahamovich Ditolak Swiss. Retrived from https://internasional.kompas.com/read/2018/09/26/20445431/diduga-terlibat-pencucian-uang-roman-abramovich-ditolak-swiss

Penulis : 

Oleh Putri Rahmadhani

Mahasiswa Universitas Indonesia

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar