Wakil Kepala PPATK: Pencucian Uang Menimbulkan Disruptive Economy

| 0

Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae menyampaikan pemaparan terkait kajian hukum PPATK mengenai foreign predicate offences dalam penanganan TPPU di Institut Intelijen Keuangan Indonesia (Foto: RTP)

 

DEPOK -- Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae menegaskan bahwa pencucian uang nyata menimbulkan disruptive economy. Hal ini mengingat tindak pidana asal yang mengiringi pencucian uang bersifat tidak terbatas, dan nominal kerugian yang bisa mencapai triliunan rupiah. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa pencucian uang juga bisa dilakukan secara lintas batas negara.

“Tidak kurang 857 informasi diterima PPATK dari financial intelligence unit negara lain terkait indikasi foreign predicate crime di Indonesia,” katanya saat memberikan paparan dalam Seminar Internasional terkait Foreign Predicate Offences di Institut Intelijen Keuangan Indonesia, Rabu (31/10).

Foreign predicate crime merupakan tindak pidana asal yang menghasilkan harta kekayaan yang terjadi di luar negeri dan dilakukan pencucian uang terhadap harta kekayaan tersebut di Indonesia. Ketentuan ini sendiri telah diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan bahwa Hasil Tindak Pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan di wilayah RI atau di luar wilayah RI, dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Wakil Kepala PPATK menyampaikan juga berbagai isu yang ditemui dalam penanganan foreign predicate crime, seperti kesulitan menghadirkan saksi korban yang berada di luar negeri, tidak terpenuhinya prinsip double criminality (tindak pidana yang dilakukan di luar negeri tersebut bukan suatu tindak pidana di Indonesia).

“Kita juga menemui kendala tentang persepsi yang berbeda antar sesama penegak hukum dan penyelesaian kasus yang membutuhkan waktu yang lama,” lanjut eks Kepala Perwakilan Bank Indonesia di London itu.

Berbagai rekomendasi disampaikan oleh Wakil Kepala PPATK, seperti penyempurnaan kerangka kerja sama internasional, perbaikan sistem hukum dan mekanisme kerja sama domestik, mengefektifkan tindak lanjut Mutual Legal Assistance (MLA), dan peningkatan kapasitas (capacity building) aparat penegak hukum.

 “Bersama kita dapat melaksanakan perbaikan, seperti membentuk task force yang melibatkan sejumlah penegak hukum, merevisi Undang-undang anti-TPPU, dan perbaikan mekanisme kerja MLA. PPATK membentuk IFII juga sebagai salah satu sarana capacity building penegak hukum, tidak hanya bagi PPATK.” tutupnya.

Seminar internasional ini melibatkan peserta yang merupakan penyidik dari Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Kehutanan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi, Detasemen Khusus 88 Polri, dan sejumlah hakim yang turut berpartisipasi.

Seminar internasional ini juga dihadiri oleh tidak kurang peserta dari 10 (sepuluh) negara yang meliputi Amerika Serikat, Australia, Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Rusia, Belanda, Inggris, dan Korea Selatan. (TA)

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar