Pelaporan Transaksi kepada PPATK Dilindungi Undang-Undang TPPU

| 0

Ilustrasi perlindungan Pihak Pelapor dalam menyampaikan laporan transaksi kepada PPATK

 

Makassar – Unsur tindak pidana pencucian uang dalam ketentuan yang termuat di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) secara umum terdiri atas upaya menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan atau aset hasil tindak pidana. Bagi pelaku yang berupaya menyembunyikan atau menyamarkan harta hasil kejahatannya tersebut, akan dijerat dengan Pasal 3 UU TPPU, dengan posisinya sebagai pelaku aktif suatu kejahatan.

Di sisi lain, kewaspadaan untuk menjadi pelaku pasif juga perlu, agar seseorang ataupun suatu lembaga tidak dijadikan sebagai sarana penempatan atau penitipan harta atau aset hasil tindak pidana. Hal ini termuat dalam Pasal 5 UU TPPU dengan ancaman pidana dan denda yang tidak sedikit. Hal ini disampaikan oleh Analis Hukum PPATK, Dhira Gulista Sudjaja, dalam Focus Group Discussion PPATK dengan pejabat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis, 3 September 2020.

“Secara teoritis, ketentuan yang termuat dalam Pasal 3, 4, dan 5 UU TPPU dijabarkan dalam konsep placement, layering, dan integration,” kata Dhira.

Ia juga menekankan kepada Penyedia Jasa Keuangan, Penyedia Barang dan/atau Jasa Lainnya, dan Pihak Pelapor Profesi untuk menyampaikan laporan transaksi keuangan kepada PPATK, sebagai bentuk kewajiban dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT). Dengan kata lain, Pihak Pelapor tidak hanya terikat dengan kewajiban menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) kepada pengguna jasanya, tetapi juga wajib melaporkan transaksi keuangan tersebut kepada PPATK.

“Pada prinsipnya, Pihak Pelapor tidak perlu khawatir atas pelaporan yang disampaikan kepada PPATK. Pasal 29 UU TPPU mengatur ketentuan bahwa Pihak Pelapor tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada PPATK,” lanjut Dhira.

“Pelaporan kepada PPATK juga sangat membantu menjaga Pihak Pelapor dari risiko reputasi dan risiko hukum,” tandas Dhira.

FGD ini turut melibatkan partisipasi Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Pemerintah Provinsi dan Kota/Kabupaten di wilayah Sulawesi Selatan. FGD juga diikuti oleh Kepala Dinas DPM PTSP Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Takalar, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Kabupaten Takalar, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Gowa, Kabupaten Bone, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Luwu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Kota Parepare, dan sejumlah wilayah lainnya. Kegiatan dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan penanggulangan pandemi Covid-19. (TA)

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar