Risiko TPPU dan TPPT dalam Pembawaan Uang Tunai Lintas Batas Negara

| 0

Foto 1. Kebersamaan Pejabat PPATK dengan Rekan Media

DEPOK -- Pererat silaturahmi sekaligus berbagi isu anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APUPPT) terkini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyelenggarakan kegiatan Media Gathering, 12-13 September 2019. Kegiatan diselenggarakan di Indonesian Financial Intelligence Institute (IFII), Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Salah satu topik yang dibahas antara lain mengenai risiko pembawaan uang tunai lintas batas negara terhadap praktik pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin dalam pengantarnya menyampaikan bahwa uang masih menjadi alasan utama berbagai jenis kegiatan kriminal dilakukan. Pergerakan uang haram tersebut akan selalu masuk ke dalam yurisdiksi yang lemah dalam hal regulasi dan penegakan hukumnya. Khusus di Indonesia, nominal dari aliran dana yang masuk secara ilegal (illicit flow) tersebut cenderung fantastis. Penelitian Prakarsa menyebut angka 142,07 miliar dolar AS, yang ditengarai menjadi salah satu sebab hilangnya potensi penerimaan negara, baik pajak maupun non-pajak. “Illicit flow nyata dampak merusaknya, dan jelas membuat ekonomi negara terganggu,” kata pria yang akrab disapa dengan Pak Badar tersebut.

Lebih jauh, Kepala PPATK mengurai panjangnya garis pantai Indonesia, yang memiliki lebih dari 85 titik perbatasan, baik di darat dan laut yang biasa disebut dengan Jalur Lintas Batas Negara (Tasbara A). Keseluruhan titik tersebut tidak termasuk jalur-jalur lintas batas negara yang tradisional (Tasbara B) dan lintas batas negara (Tasbara C) yang dikenal dengan jalur merah atau jalur ilegal. Tasbara A pada umumnya sudah dilengkapi dengan fasilitas pabean, imigrasi, karantina, dan keamanan, sedangkan Tasbara B dan Tasbara C  belum memiliki kelengkapan tersebut. Hal ini menyebabkan sulitnya pemantauan dan pengawasan oleh aparat keamanan maupun masyarakat, yang berisiko sebagai pintu masuk pergerakan barang dan uang ilegal yang akan dibawa masuk dan keluar Indonesia.

“Potret tersebut sejalan dengan hasil Penilaian Risiko Pendanaan Terorisme Tahun 2016 di wilayah Asia Tenggara dan Australia, yang menyebutkan bahwa pergerakan lintas batas atas barang atau uang di Indonesia dikategorikan berisiko tinggi,” jelasnya.

Pengantar dari Kepala PPATK tersebut menjadi pintu masuk diskusi yang melibatkan narasumber dari sejumlah lembaga terkait, antara lain Bank Indonesia dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Bandara Soekarno Hatta, Erwin Situmorang menyebut bahwa aturan main sudah ditegakkan dalam mencegah masuknya illicit flow ke negara ini. Ketentuannya antara lain mengatur pembawaan masuk maupun keluar uang tunai sejumlah paling sedikit Rp 100 juta atau mata uang asing setara itu wajib diberitahukan. Uang senilai Rp 100 juta yang dibawa keluar daerah pabean Indonesia juga wajib mendapat izin dari Bank Indonesia.

“Izin dan persetujuan BI juga berlaku untuk pembawaan uang kertas asing setara Rp 1 miliar yang masuk dan keluar daerah pabean Indonesia,” lanjut Erwin.

Asisten Direktur di Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia, Ronggo Gundala Yudha memperkuat penjelasan Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Bandara Soekarno Hatta. Ketentuan yang mengatur pembawaan uang kertas asing telah dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang Kertas Asing (UKA) Ke Dalam dan Ke Luar Daerah Pabean Indonesia sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 20/2/PBI/2018.

“Izin pembawaan UKA berlaku maksimal lima tahun dan persetujuan setiap kali pembawaan UKA didasarkan atas pemotongan kuota terhadap kuota persetujuan,” kata Ronggo.

Sementara itu Direktur Pelaporan PPATK Soegijono Setyabudi menenkankan pentingnya pengawasan terhadap pembawaan uang tunai atau instrumen pembayaran lain yang bersifat lintas batas daerah pabean. Selain agar tidak dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan terorisme, juga demi tercapainya pengendalian moneter demi mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

“Pengawasan juga perlu demi mendukung penerapan kewajiban penggunaan mata uang rupiah dalam transaksi di wilayah NKRI,” tegasnya.

Diskusi aktif mengiringi penjelasan yang telah disampaikan oleh sejumlah narasumber tersebut. Tidak kurang 27 media dari unsur media cetak, online, dan televisi berpartisipasi dalam kegiatan ini, yang juga turut dihadiri oleh Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae, Direktur Kerja Sama dan Humas PPATK Muhammad Salman, Kepala Indonesian Financial Intelligence Institute Akhyar Effendi, beserta jajaran pejabat PPATK lainnya. (TA)

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar