KYC sebagai Peran Perbankan dalam Pemberantasan TPPU

| 4.5

Sumber : https://shuftipro.com/wp-content/uploads/2019/01/kyc-blog-image-final-01.jpg

 

Hikmahanto Juwana dalam “Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional”, menyampaikan bahwa industri perbankan memiliki sifat khusus yang dapat terlihat dari dua hal, yaitu perbankan merupakan salah satu subsistem industri jasa keuangan, dan perbankan juga sebagai suatu industri yang sangat bertumpu pada kepercayaan masyarakat. Salah satu cara perbankan dalam menjalankan bisnisnya adalah dengan menghimpun dana masyarakat sebagai nasabahnya. Sehingga bank merupakan lembaga yang bertumpu pada dana masyarakat, serta bank juga mempunyai beban mengenai kepercayaan masyarakat terhadap cara pengelolaan dana agar tidak menyebabkan kerugian pada masyarakat. Akibatnya, bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan pengelolaan bisnisnya. Prinsip kehati-hatian ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat penyimpan dana dan terciptanya perbankan yang sehat.[1] Sebagai salah satu realisasi prinsip kehati-hatian, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan) mewajibkan bank untuk menerapkan prinsip mengenali nasabah atau prinsip Know Your Customer (KYC).

KYC merupakan suatu prinsip yang dianut di bidang perbankan untuk mengenal lebih dalam mengenai nasabah bank tersebut. KYC diatur secara khusus dalam Peraturan Bank Indoensia Nomor 3-10-PBI-2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). Pada Pasal 1 angka 2 peraturan ini, KYC didefinisikan sebagai prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.

Salah satu penerapan KYC adalah dengan melakukan identifikasi terhadap nasabah. Proses identifikasi nasabah sebagai salah satu penerapan prinsip KYC dilakukan terhadap dua objek, yaitu kepada nasabah secara personlijk (perorangan nasabah) dan kepada dokumen-dokumen yang berhubungan dengan nasabah. Selain itu, bank juga wajib melakukan monitoring terhadap rekening nasabah yang meliputi monitoring outgoing maupun incoming pada setiap kegiatan transaksi yang dilakukan nasabah. [2]

Lebih dari itu, prinsip KYC juga perlu didayagunakan untuk menghindari pemanfaatan sistem keuangan, khususnya yang menyangkut perbankan, sebagai sarana TPPU. Pada dasarnya, prinsip KYC ini merupakan rekomendasi dari The Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering oleh Kelompok 7 Negara (G-7) yang dikemukakan pada saat G-7 Summit di Perancis tahun 1989. Rekomendasi ini dilakukan FATF karena memang salah satu peran FATF adalah untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan dalam kerangka rekomendasi tindakan untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. [3]

Lebih lanjut, hal ini diatur dalam UU TPPU, bahwa bank sebagai salah satu pihak pelapor khususnya sebagai penyedia jasa keuangan, dan nasabah disebut sebagai pengguna jasa. Sehingga prinsip mengenali nasabah (KYC) dalam UU TPPU ini digunakan terminologi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ). Mengenai PMPJ, diatur secara khusus pada Bagian Kedua Bab IV tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa. Bahwa PMPJ seminimal mungkin dilakukan dengan mengidentifikasi pengguna jasa, memverifikasi pengguna jasa dan memantau transaksi yang dilakukan pengguna jasa. Serta, apabila bank menemukan adanya transaksi yang mencurigakan, bank dapat menunjuk petugas khusus untuk bertanggungjawab atas transaksi tersebut. Hal ini merupakan salah satu upaya manajemen resiko sebagai bentuk penerapan KYC dalam pencegahan TPPU.

Adapun kewajiban bagi bank dan kewajiban bagi nasabah atau calon nasabah, sebagai berikut:

  1. Kewajiban bagi bank meliputi:
  1. Menerapkan prinsip KYC, dengan meminta data nasabah secara lengkap, termasuk sumber dan tujuan penggunaan dana, memonitor rekening dan transaksi nasabah, mengidentifikasi terjadinya transaksi keuangan mencurigakan;
  2. Melaporkan kepada PPATK semua transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai dengan jumlah Rp500.000.000 (lima ratus juta) atau lebih.
  1. Kewajiban bagi nasabah atau calon nasabah, yaitu memberikan data secara lengkap dan akurat, termasuk sumber dan tujuan penggunaan dana, dengan mengisi formulir yang disediakan oleh bank serta melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan.

Mengenai keterkaitannya dengan TPPU, yaitu terlebih pada transaksi-transaksi yang dilakukan nasabah atau calon nasabah. Bahwa TPPU menekankan pada adanya tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, karena pada faktanya uang atau harta kekayaan tersebut diperoleh dari tindak pidana. Sehingga motif-motif yang digunakan dapat saja dengan memanfaatkan jasa perbankan. Maka, prinsip KYC perlu diterapkan untuk mengulik informasi mengenai nasabah atau calon nasabah tersebut, terlebih mengenai asal dan tujuan penggunaan dana. Serta, untuk menelusuri perputaran uang yang akan dicuci si pelaku (yang juga merupakan nasabah dari suatu bank) dengan memanfaatkan bank tersebut. Selain itu, jika pada suatu saat ditemukan bahwa nasabah dari suatu bank terlibat dalam tindak pidana pencucian uang, maka dengan data yang pernah bank dapatkan pada saat menerapkan prinsip KYC itu dapat digunakan untuk proses penegakan hukum TPPU.

 


[1] Abdul Rasyid, “Prinsip Mengenal Nasabah dalam Perbankan”, Binus.ac.id, Desember 2016, diakses 23 Juli 2019 https://business-law.binus.ac.id/2016/12/29/prinsip-mengenal-nasabah-dalam-perbankan/

[2] Asep Rozali, “Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) dalam Praktik Perbankan”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 24, Ejournal.sthb.ac.id, 01 Februari 2011.

[3] Dewi Anggraeni Pujianti, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang”, Ui.ac.id, 2011, https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252936-T29238-Penerapan%20prinsip.pdf

Penulis : Devy Kusuma Wati

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar