Pusdiklat APUPPT Terima Kunjungan Himpunan Mahasiswa Kriminologi UI

| 0

Kunjungan Himpunan Mahasiswa Kriminologi UI ke Pusdiklat APUPPT, Kamis, 19 September 2019 (Foto: Dimas Bayu Aji)

 

DEPOK – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Krimonologi Universitas Indonesia (Himakrim UI) melakukan kunjungan ke Pusat Pendidikan dan Pelatihan Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (Pusdiklat APUPPT), atau yang juga dikenal dengan Indonesian Financial Intelligence Institute (IFII), Kamis (19/9/2019). Kedatangan sejumlah mahasiswa ini bertujuan untuk mempelajari lebih dalam tentang tipologi dan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang.

Mawar Shafira Nadhila, Ketua Himakrim UI yang memimpin kunjungan ini menyampaikan ucapan syukur dan terima kasihnya atas penerimaan yang hangat dari seluruh unsur di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan IFII dalam proses kunjungan ini. Ia menyampaikan, topik terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme merupakan topik yang sangat menarik dan relevan dalam konteks kajian kekinian Krimonologi. “Semoga momen berharga ini dapat memperkuat sinergi antara PPATK, IFII, dan seluruh pihak yang terkait dengan kemajuan ilmu di bidang Kriminologi,” katanya dalam sambutannya.

Kepala Bidang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan IFII, Yusup Darmaputra, mengapresiasi kehadiran sejumlah mahasiswa ini. Ia menyatakan bahwa IFII merupakan tempat yang tepat untuk belajar, mengkaji, dan berdiskusi segala hal tentang dinamika pencucian uang dan pendanaan terorisme. “IFII telah menjadi sarana peningkatan kapasitas penegak hukum dan pihak pelapor di bidang APUPPT. Tentunya, IFII pun sangat terbuka bagi setiap mahasiswa yang tertarik dengan isu ini. Di tempat ini, bersama kita perkuat komitmen tegakkan rezim APUPPT di negeri ini,” katanya.

Kegiatan kemudian diisi dengan diskusi panel yang dimoderatori oleh Ketua Kelompok Hubungan Masyarakat PPATK, M Natsir Kongah. Ia memandu diskusi yang diisi oleh Defid Tri Rizky selaku Analis Kerja Sama Dalam Negeri PPATK dan Yudi Aditia yang merupakan Analis Riset PPATK. Keduanya menyampaikan materi terkait penegakan hukum TPPU berikut tipologinya. Defid antara lain menyampaikan bahwa sulitnya pemberantasan kejahatan antara lain disebabkan pelaku kejahatan yang masih menerima insentif hasil kejahatannya.

“Karena itulah paradigma baru dibangun, pendekatan follow the money untuk memastikan pelaku kejahatan terpotong untuk menikmat hasil kejahatannya,” kata Defid.

Lebih lanjut, ia juga mengurai tren perkembangan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang berkembang makin kompleks. Ia menyebut bahwa virtual currency dan teknologi finansial (tekfin) cukup rawan disalahgunakan sebagai sarana TPPU. Guna menghindari pendeteksian oleh PPATK dan pihak perbankan, pelaku kejahatan kini juga cenderung sering menggunakan transaksi tunai dan kartu ATM. “Bahkan, TPPU kini terkait erat dengan sindikat kejahatan internasional seperti dalam kasus child sex, human trafficking, people smuggling, cybercrime, dan penipuan,” pungkasnya.

Sementara itu Yudi menjelaskan mengenai pengkinian National Risk Assessment yang pernah dilaksanakan pada tahun 2015 lalu. Hasil pengkinian tersebut menunjukkan bahwa risiko utama tindak pidana asal terhadap TPPU di lingkup domestik kini ditempati oleh tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan, tindak pidana kehutanan, dan tindak pidana pasar modal. “Sedangkan risiko utama TPPU untuk pencucian uang di dalam negeri yang tindak pidana asalnya berasal dari luar negeri, ditempati tertinggi oleh tindak pidana narkotika, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana penipuan,” kata Yudi.

Di luar TPPU, Yudi juga menjelaskan modus pengumpulan dana teroris yang berisiko tinggi. Modus itu antara lain donasi kepada kelompok teror, pendanaan sendiri (self-funding), dan pendanaan melalui media sosial. “Kita juga menghadapi ancaman adanya kelompok terorisme dalam negeri yang terafiliasi dengan jaringan terorisme di luar negeri,” tuturnya.

Acara kemudian diwarnai dengan tanya-jawab yang berjalan dengan hangat. Salah seorang mahasiswa antara lain menanyakan seperti dapatkah seseorang dipidana dengan pasal pencucian uang bila sekedar menjadi tempat menampung kejahatan yang dilakukan orang lain. Defid kemudian menjawab bahwa pemidanaan hal tersebut telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

“Namun, penyidik memang harus bekerja dalam mengidentifikasi adanya niat jahat, atau terminologinya sering disebut dengan mens rea, dalam menentukan apakah seseorang tersebut mengetahui atau patut menduga dana tersebut bersumber dari hasil kejahatan,” jawab Defid.

Kegiatan diakhiri dengan pemberian penghargaan kepada sejumlah mahasiswa Krimonologi UI yang telah menyelesaikan program magang di PPATK, foto bersama, dan tur singkat mengelilingi IFII yang diresmikan sejak tahun 2017 lalu. (TA)

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar