URGENSI KEBIJAKAN TRANSAKSI UANG KARTAL

| 0

Sumber : https://photo.kontan.co.id/photo/2013/01/02/1519481187p.jpg

 

Berdasarkan laporan perekonomian Bank Indonesia (BI) pada tahun 2017, kenaikan permintaan uang kartal (uang kertas dan uang logam) baik dari bank maupun masyarakat meningkat drastis. Hal ini disebabkan oleh naiknya aktivitas ekonomi domestik yang semakin meningkat. Peningkatan itu menunjukkan kenyamanan masyarakat dalam menggunakan uang kartal dibandingkan dengan uang elektronik atau e money. Demi melayani kebutuhan itu, BI tidak segan-segan menganggarkan Rp3,5 triliun setiap tahun hanya untuk biaya produksi uang kartal. Anggaran itu bisa saja terus meningkat setiap tahun jika kebutuhan masyakat terhadap uang kartal semakin meningkat.

Aktivitas ekonomi yang semakin meningkat tidak dapat dipungkiri terjadi peluang bagi para pelaku pencucian uang untuk memanfaatkan kesempat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa kali melakukan tangkap tangan atas tindak pidana korupsi. Beberapa kasus korupsi yang menggunakan uang kartal ialah Andriatma Dwi Putra Walikota Kendari yang menerima suap senilai Rp1,3 miliar. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad yang menerima gratifikasi senilai Rp2,3 miliar. Badan Narkotika Nasional (BNN) juga beberapa kali melakukan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan menemukan sejumlah uang kartal hasil transaksi tindak pidana narkotika.

Perlunya kebijakan yang mengatur tentang pembatasan transaksi uang kartal tidak hanya menyelamatkan uang negara dari para koruptor dan pelaku pencucian uang, juga akan menghemat pengeluaran negara dalam proses pencetakan uang kartal. Fenomena tersebut mengkhawatirkan karena transaksi tunai modus terbaik bagi pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menghindari monitoring PPATK.

Maka dari itu PPATK bekerjasama dengan BI dan OJK mengusulkan RUU tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Nilai nominal maksimal yang dibatasi dalam RUU ini mengacu pada Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 34 ayat (1), di mana aliran uang tunai lintas perbatasan maksimal sebesar Rp100 juta.

Terdapat beberapa industri yang tidak bisa lepas dari transaksi tunai. Maka dari itu, PPATK dan BI mengecualikan beberapa transaksi yang dapat melebihi 100 juta ke atas. Transaksi itu berupa:

  1. Transaksi yang dilakukan penyedia jasa keuangan dengan pemerintah atau bank sentral.
  2. Transaksi antar penyedia jasa keuangan dalam rangka kegiatan usaha masing-masing.
  3. Transaksi untuk penarikan tunai dari bank untuk pembayaran gaji atau pensiun.
  4. Transaksi untuk pembayaran pajak dan kewajiban ke negara.
  5. Transaksi untuk melaksanakan putusan pengadilan.
  6. Transaksi untuk kegiatan pengolahan uang.
  7. Transaksi untuk biaya pengobatan.
  8. Transaksi untuk penanggulangan bencana alam.
  9. Transaksi untuk penegakan hukum.
  10. Transaksi untuk penjualan dan pembelian mata uang asing
  11. Transaksi bagi daerah yang belum terjamah penyedia jasa keuangan.
  12. Transaksi untuk penempatan atau penyetoran ke penyedia jasa keuangan.

RUU ini disambut baik oleh lembaga perbankan seperti Direktur Bisnis Konsumer PT Bank CIMB Niaga Tbk, Direktur Utama BNI Syariah Abdullah Firman Wibowo, Direktur Keuangan dan Treasury PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko, Direktur Bisnis Konsumer PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Budi Satria, Jan Hendra Sekretaris Perusahaan Bank Central Asia (BCA), serta Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk Parwati.

Beberapa lembaga perbankan diatas menyatakan RUU pembatasan transaksi uang kartal akan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, meningkatkan keamanan dan kenyamanan, menciptakan kecepatan dalam membayar sehingga meningkatkan efisiensi, mendorong peningkatan kemampuan masyarakat untuk menabung dan mengelola uang, mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta meningkatkan kecepatan perputaran uang dalam perekonomian.

Beberapa lembaga intenasional telah melakukan penelitian terhadap pembatasan transaksi uang kartal. McKinsey menyatakan India salah satu negara yang hemat 8 persen dari total pembayaran dibandingkan uang kartal. Serta dibidang lain penerimaan India meningkat 80 persen. Negara yang tidak menerapkan kebijakan pembatasan transaksi uang kartal memiliki potensi korupsi yang lebih buruk dibandingkan negara yang menerapkan pembatasan transaksi uang kartal, seperti India, Indonesia, Bulgaria dan Rusia. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Transparency International’s 2011 Global Corruption Perceptions Index dan MasterCard Advisors’ Analysis yang menunjukkan dampak negatif bagi suatu negara yang tinggi aktivitas transaksi uang tunai dengan persepsi terhadap tingkat korupsi di suatu negara.

RUU ini merupakan program legislasi nasioanal (Prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada masa 2014-2019. Akan tetapi sampai sekarang RUU tersebut belum disahkan. Bahkan RUU ini tidak lagi menjadi Prolegnas prioritas. Alasan tersebut karena setelah masa jabatan satu periode, RUU Prioritas yang tersisa di masa jabatan sebelumnya tidak secara otomatis menjadi agenda prioritas berikutnya.

Penulis : Ari Miswari

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar