PROPERTI, MODUS PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA

| 0

Sumber: https://media.suara.com/pictures/970x544/2018/02/28/90542-bnn-ungkap-tppu-narkotika.jpg

 

 

Berbagai cara dilakukan oleh pelaku pencucian uang hasil tindak pidana narkotika agar terlihat harta kekayaan yang dimilikinya merupakan kekayaan yang sah dan legal secara hukum. Cara itu dilakukan dengan pemindahan harta kekayaannya ke luar negeri, memasukkan ke lembaga keuangan serta menggunakannya dengan melakukan transaksi jual beli yang sah secara hukum.

Middle East and North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF) pada tahun 2011 menerbitkan hasil penelitiannya mengenai Perdagangan Illegal Narkotika dan Psikotropika dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian ini dilakukan di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Temuan dari penelitian itu berupa teknik pencucian uang hasil tindak pidana narkotika tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tindak pidana pencucian uang secara umum. Dari sekian tindakan pencucian uang, bidang propertilah yang sering digunakan oleh para pelaku untuk menyembunyikan kekayaannya. Hal itu dikarenakan rendahnya pengawasan dan pelaporan atas transaksi penyedia jasa pada wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.

Atas hal tersebut Indonesia telah membentengi diri dengan berbagai aturan yang mencegah maraknya tindak pencucian uang. Aturan itu berupa Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua aturan ini menyebutkan dua pihak yang akan berperan dalam pelaporan transaksi mencurigakan khususnya di bidang properti. Dua pihak itu adalah perusahaan properti atau agen properti dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Pasal 17 ayat (1) huruf b UU TPPUU telah mengatur mengenai perusahaan yang bergerak dibidang properti merupakan pihak penyedia jasa yang wajib menyampaikan laporan transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada PPATK.

Pihak kedua yang wajib melaporkan transaksi mencurigakan dalam ruang lingkup properti adalah PPAT. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 3 menyatakan bahwa PPAT merupakan salah satu pihak yang wajib melakukan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK mengenai pembelian dan penjualan properti.

Berkaitan dengan kewajiban PPAT dalam melakukan pelaporan, dilansir dari Hukumonline.com Ketua Umum Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Syafran Sofyan pada acara upgrading notaris dan PPAT se-Banten mengatakan ada beberapa kondisi yang membuat PPAT tidak wajib melaporkan jika terdapat dugaan transaksi keuangan mencurigakan. Hal itu jika sepanjang transaksi yang dilakukan oleh pengguna jasa dilakukan melalui mekanisme perbankan atau jasa keuangan lainnya. Dengan demikian, kewajiban pelaporan transaksi tersebut tidak lagi menjadi beban bagi PPAT, akan tetapi menjadi beban dan tanggung jawab lembaga perbankan dan jasa keuangan lainnya.

Pembelian property sebagai modus dari pencucian uang merupakan pilihan menarik bagi para pelaku. Sebagai contoh kasus Robert Tantular, MBA., yang sudah diputus bersalah dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 29 PK/Pid.Sus/2018. Pada putusan ini, Robert yang bertempat tinggal di Jl. Simprug Golf 14 Kav. A1 Nomor 10 RT.002, RW.008, kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Kodya Jakarta Selatan diputus bersalah karena melakukan penipuan dan tindak pidana pencucian uang. Hasil tindak penipuan Robert dicuci dengan membeli 7 (tujuh) kavling tanah dengan luas 220M2 sampai 2000M2, rumah yang terletak di Jalan Kebun Bunga Nomor 8 LA 8 dengan luas tanah 146 M², luas bangunan 50 M².

Putusan tersebut merupakan satu dari sekian kasus pencucian uang di bidang properti. Kurangnya kerjasama antar lembaga pemerintahan dan juga swasta membuat pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia menjadi terhambat. Kasus Robert merupakan perwakilan dari berbagai kasus serupa yang menunjukkan betapa lemahnya pengawasan dan pelaporan dari perusahaan proerti dan juga PPAT dalam menjalankan tugasnya.

 

 

REFERENSI

  1. Ivan Yustiavandana et. Al., “Tipologi Pencucian Uang Hasil Tindak Pidana Narkotika”, Laporan Hasil Riset 2017 Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan, hal. 19-20.
  2. Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
  3. Nanda Narendra Putra, “PPAT tidak Wajib Lapor Transaksi Mencurigakan ke PPATK, Asal…”, diakses pada 12 Juni 2019, pukul 11:30, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5804928c6b7b7/ppat-tidak-wajib-lapor-transaksi-mencurigakan-ke-ppatk--asal/

Penulis: Ari Miswari

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar