NETRALISASI PELAKU PASIF DALAM TPPU

| 0

Sumber: https://darmasamadayazendrato.files.wordpress.com/2016/03/money-laundering.jpg?w=1024&h=666&crop=1

 

 

Dalam melakukan tindak pidana pencucian uang, pelaku utama atau pelaku aktif umumnya melibatkan pihak lain untuk melancarkan aksinya. Dikarenakan tujuan utama dari tindakan tersebut adalah menyembunyikan hasil dari tindak pidana, maka pelaku utama akan melakukan beberapa upaya yang ditujukan untuk menyamarkan harta kekayaan atau mengubah bentuk dana melalui beberapa transaksi demi mempersulit pelacakan (audit trail) asal usul dana tersebut. Pihak-pihak yang menerima harta tersebut dapat digolongkan sebagai pelaku pasif. Sebagaimana dimuat dalam UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasal 5 ayat 1, dengan bunyi pasal sebagai berikut:

 

“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

 

Dalam konteks aturan  tersebut, seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku pasif apabila memenuhi unsur mengetahui dan patut menduga bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan atau mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. 

Salah satu kasus yang menarik perhatian publik pada awal tahun 2013, adalah kasus pencucian uang oleh Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia, Djoko Susilo (DS). DS ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri. Pada kasus tersebut, KPK menjerat DS dengan pasal 3 dan atas pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU. DS disebutkan menyamarkan, mengubah  bentuk atau menyembunyikan harta kekayaannya yang diduga berasal dari hasil korupsi proyek simulator SIM yang merugikan negara mencapai 100 miliar. Selain itu, KPK juga menjelaskan bahwa terdapat aset yang dialihkan atas nama istri-istri DS. Istri-istri DS diduga ikut mengetahui serta menguasai aset yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Aset yang dilimpahkan kepada para istri DS, dimulai sejak tahun 2010. Pada tahun 2010, DS membeli tanah yang lengkap dengan aset SPBU di Jakarta Utara, mengatasnamakan ayah kandung istri  ke-empat nya, yaitu Dipta Anindita. Kemudian, di tahun 2011 DS membeli aset berupa tanah mengatas-namakan istri keduanya yang bernama Mahdiana. Kemudian, pelimpahan hasil korupsi yang lain diberikan kepada istri ketiga yang  bernama Eva Handayani, berupa SPBU dan sebidang tanah di kawasan Jagakarsa. Kepada istri pertamanya, DS melimpahkan sebidang tanah di daerah Subang atas nama Suratmi. Penyamaran hasil korupsi yang dilakukan oleh DS kepada seluruh istrinya membuat mereka didakwa sebagai pelaku pasif di dalam perputaran pencucian uang.   

Kasus yang melibatkan istri sebagai wadah untuk menyamarkan hasil korupsi, merupakan fenomena yang lazim terjadi di dalam TPPU. Maka, istri dapat dijelaskan sebagai pelaku pasif, hampir di seluruh kasus TPPU. Istri dianggap sebagai pihak yang paling rentan untuk mengetahui dan turut serta dalam menyamarkan hasil korupsi yang dilakukan oleh suami sebagai pelaku. Dalam ranah legal, istri dianggap sebagai pelaku pasif karena perannya yang mampu mengalihkan penyelidikan arus transaksi hasil korupsi serta tindak pidana asal lainnya.  

Keterlibatan istri sebagai pelaku pasif dapat dapat dikaitkan dengan reaksi psikologis dan kesadaran individu terhadap tindakan tersebut. Salah satu elemen terpenting dalam proses perikatan pidana adalah bagaimana proses psikologis pelaku dapat dicapai tanpa menderita rasa bersalah bagi pelaku tersebut. Dalam kriminologi, teori netralisasi (Sykes & Matza, 1957) yang berpusat pada pelaku memberikan penjelasan terkait keterlibatan dan pemahaman pelaku terhadap tindak kejahatan itu sendiri. Proses menjadi pelaku kejahatan dinilai sebagai pengalaman belajar di mana pelaku menguasai teknik yang memungkinkan mereka untuk mengimbangi antara perilaku ilegal dan konvensional.

Teori netralisasi memberikan penjelasan bahwa ketika pelaku berpikir untuk melakukan tindak kejahatan, mereka menggunakan dalih pembenaran untuk menetralisir rasa bersalah karena melakukan kejahatan tersebut. Karena hal itu, mereka dapat melakukan kejahatan tanpa ada rasa bersalah dalam dirinya. Secara sederhana, teori netralisasi memberikan penjelasan di mana, ketika terdapat pelaku yang menetralisir perilaku melanggar nilai dan normanya dengan menggunakan dalih seperti "Aku tidak bermaksud melakukannya" , "Aku tidak benar-benar melukai siapapun" dan “Saya tidak melakukannya untuk diri saya sendiri”. Alasan-alasan tersebut yang kemudian menjadikan pelaku melakukan kejahatan tanpa merasa bersalah atau bahkan pelaku tidak merasa bahwa dirinya terlibat dalam kejahatan itu sendiri.

Berkaitan dengan kasus DS, keterlibatan keempat istrinya sebagai pelaku pasif, dapat dijelaskan sebagai usaha untuk menyamarkan uang hasil korupsi. Penyamaran yang dilakukan oleh para istri, sejatinya terjadi dengan kesadaran untuk memproses tindakan tersebut. Kegiatan tersebut pun tidak akan dapat terjadi tanpa pengelolaan serta komunikasi yang harus terjadi dua arah, antara suami dan istri. Walaupun pelaku pasif cenderung untuk tidak mengakui perbuatannya, namun sejatinya pencucian uang merupakan jaringan transaksi yang tidak bisa dilakukan secara individu. Dibutuhkannya pihak ketiga yang secara sadar akan mengelola serta menggunakan hasil penyamaran untuk kemudian disamarkan kembali agar dapat dinikmati secara riil. Proses yang bersifat loop ini, seringkali digunakan untuk membantu proses TPPU berjalan dengan baik serta mengecoh penyelidikannya. Maka, penolakan atas sangkaan pelaku pasif oleh para istri merupakan bentuk penolakan atas tanggung jawab legalitas hukum yang  berlaku.

Dalam teori netralisasi, tindakan penyamaran uang hasil korupsi yang sebenarnya juga dilakukan oleh pelaku pasif merupakan bentuk dari salah satu teknik netralisasi yaitu deny of responsibility. Pelaku pasif seringkali mengklaim bahwa tindakan mereka yang melanggar hukum secara murni bukanlah kesalahan mereka. Deny of responsibility menjelaskan bagaimana pelaku menyangkal tanggung jawab dengan mengklaim bahwa perilaku mereka tidak disengaja atau karena hal tersebut terjadi di luar kendali mereka. Pelaku justru melihat diri mereka sebagai korban keadaan atau sebagai hasil dari kondisi di lingkungan mereka. 

Dalih bahwa pelaku tidak terlibat langsung dalam tindak pidana asal, atau tidak mengetahui bahwa harta tersebut hasil dari tindak pidana seringkali menjadi justifikasi pelaku pasif untuk membenarkan tindakannya dalam menerima atau menikmati hasil tindak pidana dan menghindari sanksi hukum bagi dirinya sendiri. Maka sejatinya pelaku pasif dalam tindak pidana pencucian uang tetap perlu ditindak tegas secara hukum. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, akan menjadi celah bagi pelaku utama untuk mengalirkan dana hasil tindak pidana secara terus-menerus kepada pelaku pasif, maupun menjadi pemicu bagi banyak pihak untuk turut serta menikmati hasil dari tindak kejahatan. Dalam kasus ini istri-istri DS sebagai orang terdekat dinilai semestinya mengetahui apabila suaminya memberikan sesuatu yang di luar kebiasaan, terlebih dalam jumlah yang tidak sesuai pendapatan suami, istri “patut menduga” bahwa harta kekayaan tersebut hasil dari tindak pidana. Maka yang perlu dibuktikan dari pelaku pasif terkait unsur patut menduga dan mengetahui serupa dalam pembuktian pasal 480 KUHP yang menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte culpoos (setengah sengaja setengah lalai). Dengan demikian, saksi hukum tersebut perlu diberikan terutama untuk mencegah banyaknya pihak yang secara sengaja maupun sembarang menerima hasil kejahatan.

 

Referensi

Buku dan Jurnal Ilmiah

Cullen, F.T & Wilcox Pamela. (2010). Sykes, Gresham M., and David Matza: Techniques of Neutralization. Encyclopedia of Criminological Theory, pp 920-927.

Siegel, Larry J. (2012). Criminology, 11th Edition. Wadsworth: Cengage Learning.

 

Dokumen Undang-Undang

Republik Indonesia. Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka

 

Berita

Rastika, Icha. (2013). Irjen Djoko Susilo Jadi Tersangka Pencucian Uang. diakses melalui https://nasional.kompas.com/read/2013/01/14/15412978/irjen.djoko.susilo.jadi.tersangka.pencucian.uang pada 12 Juli 2019

Amelia, Rizky. (2013). Empat Istri Djoko Susilo Bisa Dijerat Pencucian Uang. diakses melalui https://www.beritasatu.com/nasional/109992/empat-istri-djoko-susilo-bisa-dijerat-pencucian-uang pada 12 Juli 2019

Penulis: 

Alfa, Mawar, dan Putri

Mahasiswa Universitas Indonesia

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar