Wakil Kepala PPATK: Literasi Cryptocurrencies bagi Aparat Pemerintah, Perlu!

| 0

Wakil Kepala PPATK menyampaikan paparan mengenai cryptocurrencies dalam seminar yang diselenggarakan UNODC di Bangkok, Thailand (Foto: UNODC)

 

BANGKOK -- Setiap negara harus melek terhadap fenomena cryptocurrencies, khususnya aparat pemerintahan dan lembaga terkait. Pemahaman ini dibutuhkan agar cryptocurrencies tidak dijadikan sebagai sarana kejahatan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dr. Dian Ediana Rae saat menyampaikan materi dalam seminar yang diselenggarakan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) di Bangkok, Thailand, Kamis (30/8). Wakil Kepala PPATK juga menyampaikan perspektif PPATK dalam mengantisipasi penyalahgunaan cryptocurrencies, yang meliputi perbaikan dalam penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ), pembenahan catatan transaksi keuangan Pengguna Jasa, pembangunan sistem Politically Exposed Persons (PEPs), pembangunan teknologi baru, penerapan PMPJ bagi perusahaan Teknologi Finansial, optimalisasi audit internal, hingga penerapan ketentuan sesuai standar internasional terhadap negara-negara yang berisiko tinggi (higher-risk countries).

"Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa secara elektronik (e-KYC) sangat diperlukan. Dengan itu, dapat dilakukan identifikasi biometrik dan sekaligus akses langsung ke data kependudukan. PMPJ secara elektronik juga dapat menerapkan sistem penolakan bila Pengguna Jasa gagal dalam memenuhi kriteria PMPJ," kata Wakil Kepala PPATK.

Doktor Hukum Ekonomi dari Universitas Indonesia ini juga menyampaikan perlunya menjaga data transaksi keuangan Pengguna Jasa dengan durasi selama lima tahun, guna kepentingan dukungan dalam proses penegakan hukum yang melibatkan Pengguna Jasa. Selain itu, identifikasi PEPs juga menjadi hal penting, agar Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dapat memberikan langkah yang tepat dalam menangani Pengguna Jasa yang terdaftar dalam PEPs.

“Penyelenggara perusahaan Fintech juga harus menetapkan penilaian risiko tentang anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme sebelumnya produknya diluncurkan,” lanjutnya.

Eks Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di London ini juga menambahkan berbagai pendekatan lainnya yang perlu dilakukan, seperti kewajiban penggunaan rekening bank dan dibatasinya transaksi menggunakan uang tunai, membuat adanya mekanisme fit and proper test terhadap pemilik dan penerima manfaat (beneficial owner) dari suatu perusahaan Fintech, hingga pelaksanaan pengawasan berbasis risiko untuk memastikan kepatuhan terhadap standar internasional anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

“Tentu saja yang paling penting dari semua itu adalah, kesediaan kita secara sukarela menjalin kerja sama guna mencegah penyalahgunaan virtual currencies maupun Fintech digunakan sebagai sarana kejahatan,” Wakil Kepala PPATK menutup pemaparannya.

Di sela seminar, Wakil Kepala PPATK juga melakukan kunjungan silaturahmi ke Acting Chief dari lembaga intelijen keuangan Thailand (Anti-Money Laundering Office/AMLO) guna memperkuat kerja sama kedua lembaga, terutama dalam bentuk program pertukaran analis dan joint analysis. (TA)

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar