Fenomena Triliunan Uang Tunai dan Peran PPATK

| 0

Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae (Foto: CNBC Indonesia)

 

Pembatasan penggunaan uang tunai menjadi salah satu solusi untuk memerangi suap, gratifikasi, hingga korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkali-kali melakukan tangkap tangan dan menemukan uang bertumpuk-tumpuk.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjadi pionir dalam pembatasan transaksi tunai. Bagaimana era less cash society ini bisa memerangi korupsi dan pencucian uang?

Berikut petikan wawancara khusus antara CNBC Indonesia yang diwakili reporter Rivi Satrianegara dengan Wakil Ketua PPATK Dian Ediana Rae mengenai PPATK dan pemberantasan korupsi, hingga money laundering.

 

Pembatasan uang tunai, PPATK ingin pengurangan penggunaan uang tunai seperti apa ke depan?

Secara luas, tujuan pembatasan transaksi tunai sudah sejalan dengan niat Bank Indonesia atau OJK yang elektronikfikasi, less cash society, dan segala macam. Itu secara global ditujukan agar bagaimana ekonomi kita lebih efisien. Bayangkan, kalau semua dengan cash, orang perlu duit banyak miliaran diambil lalu dipindahkan, masih ada itu. Itu tidak efisien dan tidak aman. Sebetulnya, salah satu inefesiensi itu tercipta karena BI harus cetak duit banyak kan.

Kalau semua orang sudah bergerak, katakanlah 70%, bergerak ke arah elektronifikasi pencetakan uang kan akan lebih ringan. Beban percetakan uang yang mahal, mahal sekali itu, kan bisa berkurang. Jadi percepatan efisiensi ekonomi, penghematan anggaran pencetakan uang, itu semua sejalan dengan upaya kita untuk membatasi transaksi tunai. Selama ini BI dan OJK sudah kampanyekan, beralihlah menggunakan debit card, credit card, e-money, macam-macam. Itu dilakukan supaya tidak dengan tunai.

Sekarang, PPATK itu bergerak lebih sedikit maju dalam pengertian orang di dalam konteks implementasi itu, tidak semata-mata mengandalkan efisiensi ekonomi. Salah satu hal yang perlu diperhatikan bagaiman sistem keuangan kita dijaga integritasnya. Itu yang penting, menjaga integritas sistem keuangan dan perekonomian.

Misal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), banyak duit ditumpuk. Korupsi ini-itu, semua duit cash baik dalam rupiah maupun dolar. Kemudian BNN menangkap narkoba, itu duit setumpuk. Fenomena ini kan mengkahwatirkan karena duit cash ini ternyata banyak dipakai penjahat untuk menghindari monitoring PPATK. Mereka tahu kalau masuk ke sistem keuangan PPATK pasti tahu. Jadi kita perlu ada semcam "pemaksaan" secara legal dengan dasar hukum lebih kuat agar cenderung masuk non cash, agar masuk sistem keuangan. Di samping efisiensi yang tercpta, kita juga akan bisa secure, sistem keuangan kita tidak dimanfaatkan penjahat-penjahat ini.

Bisa dijelaskan kejahatan bagaimana?

Di Indonesia itu bisa, kejahatan dalam grand scale itu benar-benar korupsi gede-gedean. Yang namanya narkoba itu, yang kami ungkap saja tahun 2015 sekitar Rp 1,3 triliun lalu 2017 Rp 2,6 triliun. Untuk sekarang yang masih ditangani polisi menyentuh angka Rp 12-13 triliun.

Tahun ini?

Iya, tapi itu masih di Bareskrim ya. Kita lihat saja nanti perkembangannya seperti apa. Tapi itu melibatkan duit segitu banyak. Apapun skalanya menjadi besar, kita lihat illegal fishing, illegal logging, smuggling, tax evasion, apapun yang disebut predicate crime, wewenang kita kan 26 jenis kejahatan asal. Itu scale-nya bisa grand.

Pertanyaannya, kenapa itu bisa terjadi? Kenapa di Indonesia ini segala sesuatu bisa jadi skala besar. Tentu pertama karena anggarannya gede, secara economic sclae-nya besar. Yang kedua sebetulnya, nampaknya ada sistem yang lemah di kita. Peraturan UU dan pengawasan masih banyak loopholes (celah). Berarti masih banyak orang menggunakan cash misalnya, untuk transaksi hingga menyuap dan lain segala macam kan tidak terkontrol. Jual beli narkoba juga begitu, jadi dilihat dari hal ini perlu mengatasi persoalan lebih sistematis dari A sampai Z, hulu sampai hilir.

Katakanlah soal korupsi, UU harus kuat. Governance di masing-masing birokrasi harus kuat, perilaku bisnis pun harus dikontrol sedemikian rupa agar tumbuh dengan sehat. Hulu sampai hilir jangan sampai kemudian melemah, peraturan UU lemah, pengawasan lemah, perilaku bisnis pun amburadul. Nah, jadi kemungkinan untuk bisa membersihkan korupsi lebih cepat harus sistemik, peraturan UU kita review, kenapa bisa terus-terusan begitu.

Kedua bagaimana sih governance di tiap lembaga? Kok bisa parah begitu, masih saja berkembang. Ketiga perilaku perorangan dalam menjalankan bisnis. Mereka kemudian melakukan hal menyimpang dari tujuan bisnis sehat. Bagaimana kita benahi ini? Ini persoalannya, ini terhubung, kalau nanti ada UU pembatasan transaksi cash. Artinya ada kesulitan untuk orang tarik cash dengan tujuan tidak benar tadi, orang akan kekurangan insentif untuk melakukan kejahatan. Lalu bagaimana korporasi melakukan sesuatu itu juga mereka harus jadi lebih terkontrol dengan transaksi yang ada dalam sistem.

Perilaku korporasi katakanlah yang sekarang mulai di-take up KPK, terkait korupsi korporasi dan sebagainya. Sekarang itu, kita harus punya proses yang tepat korporasi seperti apa. Korporasi kita lama kita berpikir bahwa yang harus diawasi hanya lembaga keuangan dengan landasan filosofis bahwa karena bank menggunakan duit rakyat, sehingga harus dikontrol. Orang berpikir kalau korporasi itu uang sendirilah terserah, that's not the fact.

Ternyata di seluruh dunia pun korporasi rawan kejahatan, terutama dalam konteks money laundering.Kita tentu bertanya-tanya, bagaimana korupsi bisa begitu besar, duit-duitnya ada di mana sih itu, berapa yang bisa diambil kembali oleh negara? Sisanya ada di mana?

Itulah mengapa kita awal tahun ini, akhirnya Presiden setuju menerbitkan Perpres terkait beneficial ownership atau penerima manfaat. Itu konsep tidak harus sama legal ownership dan beneficial ownership tidak harus sama. Kita cenderung teori hukum, cenderung hanya mengakui legal, misal korporasi A pemiliknya siapa, itulah pemiliknya, yang ada dalam AD/ART, segala macam. Itu banyak sekali kami indikasi sebetulnya, banyak koruptor dan penjahat itu yang memiliki korporasi tapi di belakang layar. Orang depan itu hanya proxy saja, tapi modalnya itu hasil dari korupsi bahkan indikasi dr kejahatan lain seperti narkoba dll.

Dengan skala narkoba di kita sampai triliunan, bisa bayangkan investasinya? BNN mencatat orang yang terlibat narkoba itu 5 juta orang. Bisa dibayangkan angka itu, Singapura saja jumlah penduduk 5 juta, Brunei 300 ribu. Kita 5 juta hanya penggemar narkoba.

Sehingga tadi persoalan kita bagaimana memperbaiki sistem secara sistemik kita mulai, di mana korporasi kepemilikan kami di-tag, transkasi non-cash kita batasi, regulasi yang kurang strong kita perkuat, itu secara bertahap akan membikin peraturan UU kita hostile atau bemusuhan pada segala jenis kejatan. Sehingga gak ada insentif lagi dalam melakukan kejahatan, kalau dikaitkan dengan uang cash tadi.

Untuk money laundering sendiri?

Money laundering ini justru core-nya. Salah satu penyebab pemberantasan korupsi kurang mujarab, karena pasal-pasal mengenai anti money laundering itu kurang diterapkan secara kosnsiten oleh penegak hukum, secara bagus, secara committed.

Sekarang kalau saya koruptor, saya curi Rp 10 miliar lalu saya ketangkap. Apa yang akan saya lakukan? Saya akan pasang badan. Terus kenapa? Saya tidak harap apa-apa. Paling hukum 3 tahun, lalu dengan remisi-remisi, saya keluar. Duit Rp 10 miliar saya kausai, kalau berkuranglah sedikit, Rp 1-2 miliar. Sisanya saya kuasai. Setelah keluar dari penjara, saya enjoy dengan duit ini, kalau malu tinggal pindah, kota lain atau bahkan negara.

Terus, apa disinsetifnya? Kalau orang korupsi ditahan tapi orang itu masih bisa memegang, menikmati hasil korupsi. Justru di situ letaknya. Seandainya UU money laundring diterapkan di segala jenis kejahatan, kejahatan mungkin berkurang karena orang akan dibikin miskin. Tidak hanya yang mampu disita saja, tapi semua hasil kekayaannya bisa dirampas untuk negara sehingga dia benar-benar dibikin miskin

Money laundring kan uang itu buat penjahat semacam aliran darah, kalau selama aliran darahnya bagus di badan dia tidak ada insetif. Kalau aliran darahnya distop mungkn itu baru akan mati, baru akan akan berpikir. Kalau say alihat skrg upaya kita menerapkan pasal money laundring masih rendah, masih di bawah 50% dari hasil analisis kita. Memang ada alasannya. Hasil pemeriksaan kita sudah cukup kuat untuk menjerat orang dengan UU TPPU kita, kita bikin kapok penjahat itu. Jadi ini yang menurut saya yang salah satu kenapa korupsi masih begitu marak. Saya lihat, komitmen aparat penegak hukum belum begitu kuat. Menurut saya, sepertinya catch the big fish theory atau teori tangkaplah ikan-ikan besar sehingga ikan kecil ketakutan seperti tidak berlaku. Yang gede tetap jalan, yang kecil tetap jalan.

Kalau dari PPATK sendiri bagaimana caranya?

Misal kita sudah ada indikasi satu penjahat, koruptor, dalam radar kita. Kita berpikir, tidak mungkin dia sendirian,bisa atasan terlibat, samping, bawahan terlibat. Sehingga kami sekarang bikin semacam risk analysis yang sifatnya rahasia ke dalam, lembaga mana yang paling berisiko, dalam kaitannya korupsi mana paling berisiko. Ada indikator yang kita pakai untuk menetapkan suatu lembaga berada di nomor satu dan selanjutnya. Sehingga kita harus melakukan pemeriksaan sistemik, kalau kita sodorin, itu nanti bukan satu dua penjahat, sudah banyak langsung sekian orang, dan ada rekomendasi bagaimana penanganan. Dalam satu departemen misal kenapa sih korupsi itu begitu resistance terhadap berbagai langkah audit internal maupun eksternal, maupun juga bayang-bayang KPK dan lain sebagainya tidak cukup membikin mereka takut.

Kalau kami tidak mendekati ini secara sistemik, regenerasi koruptor ada aja terus. Perdagangannnya narkoba itu, sekarang juga sudah ada human traficking. Dalam konteks mandat sekian besar ke PPATK ini tentu tidak mudah yang kita lakukan karena ini kan efektivtias akan tergantung kepada penegak hukum untuk bagaimana bisa efisien, orang-orang yang sudah dalam radar kita, ini bisa dikatakan agak sistemik betul-betul dan rata. Lalu sekarang kan dengan budget centralize, makanya sekarang KPK banyak tangkap korupsi di daerah karena budget mayoritas lebih besar ke daerah.

Untuk di daerah Bapak melihatnya bagaimana?

Di daerah misal, kedekatan pemerintah daerah dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD) itu sudah jadi perhatian kami yang luar biasa. Karena ini jangan sampai bank yang tadinya untuk mendorong pembangunan regional jangan sampai bank malah dijadikan ATM oleh orang-orang tertentu. Ini kenapa kita misal sangat concern dengan join audit dengan ojk untuk menyelesaikan persoalan-persoalan good governance itu ditegakan, independensi direksi, komisaris, lalu di BPD. Ini karena concern kita itu.

Risk analyst yang tadi disebut, itu sejak kapan dilakukan PPATK dan peningkatannya seperti apa?

Itu sebetulnya sejak lama, saya melihat ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Pertama data Politically Exposed Persons (PEPs), itu daftar orang-orang yang terekspos dengan politik, ada dalam data base kita. Itu pejabat negara, penegak hukum, partai politik, dan segala macam. Data base ini sekarang dibikin sekuat mungkin. Kita akan monitor semua rekening yang dimiliki PEPs secara lebih baik. Ini data dan monitoring, kemudian kita berpikir kalau gini caranya ini kan pejabat kan yang sudah tercatat sudah sampai angka 1 jutaan dalam database kita. Kalau saja kita berpikir dalam satu departemen sekian ratus PEPs, dan ini tak dimonitor komperhensif. Sehingga kita timbul pemikiran ini harus sistemik, kalau penjahat ketemu dalam satu departemen. Tapi kan kita tidak bisa semena-mena. Ada parameter mana yang paling berisiko terhadap korupsi, ada indikator, pelayanan publik, uang, tingkat pelaanggaran, laporan BPK, semua kami kompilasi yang kemudian menjadi rating departemen mana yang akan diprioritaskan untuk dibereskan dan diserahkan ke KPK atau penegak hukum lain.

Itu sejak kapan?

Kalau sporadis sudah sejak lama, tapi secara sistemik sudah 2 tahun ini. Tetapi secara sporadis kami kadang terpaksa masuk untuk melihat masuk sudah lama. Namun untuk menjadi kebijakan baru dua tahun ini, bahwa itu harus selalu begitu, kalau kamu menemukan sesuatu kamu harus seperti itu. Karena jangan sampai 1 ditangkap lepas 9.

Terkait korupsi dalam bentuk valas, itu bagaimana kenapa dolar masih menjadi favorit?

Ini karena nilai dolar AS lebih gede, rupiah lebih tidak bernilai. Rp 14.000 bisa dengan satu lembar sehingga kalau duit Rp 2 miliar itu kan besar sekali, kalau untuk dolar ya jauh lebih tipislah. Sehingga lebih mudah disembunyikan, ditransfer, lebih gampang dialihkan. Ini kita sudah bicara dengan Singapura dalam mengendalikan duit dalam jumlah besar, ini sudah dibicarakan. Mereka sudah tanggapi juga, tapi ya masih ada aja terus. Itu hanya terkait masalah ukurang fisik jadi lebih mudah dan kecil, kedua tentu saja ini kan hard currency, dolar AS, euro, yuan, dolar Singapura, dan dolar Australia. Lima itu kan hard currency, convertible-nya juga mudah di mana-mana itu.

Upaya memberantas itu?

Untuk upaya ini secara fisik harus kita kontrol, tidak ada jalan lain. Makanya keluar masuk dolar sekarang, termasuk rupiah, kami kontrol banget. Kita ada PP, Bank Indonesia ada PBI yang mengatur uang keluar masuk Indonesia, ada BI yang izin di atas Rp 2 miliar. Ada rezim deklarasi yang dalam kontrol kita, harus dideklarasikan yang kerja sama dengan bea cukai itu. Kalau tidak dideklarasikan nanti bisa didenda dsb. Ini yang perlu komperhensif. Rupiah kan sekarang nilai fisik menjadi besar membuat orang kurang berminat, tapi dalam skala lebih kecil rupiah ini lebih gampang dimengerti orang untuk menyuap, kejahatan besar rupiah tetap lebih mudah diperoleh. Oleh sebab itu, kami batasi juga rupiah dengan ekuivalen dolar. Dolar juga dibatasi peredarannya. Makanya kami mau lihat peredaran uang dalam sistem kita, dipaksa masuk ke dalam sistem keuangan.

Implikasi ke ekonomi?

Implikasi ekonomi akan sangat besar. Bank kita akan semakin kuat karena ada di sistem, lalu sistem pembayaran kita jadi semakin efisien sehingga biaya ekonomi kita jadi lebih rendah, lebih efisien. Tidak perlulah takut potensi uang dirampok, duit palsu, dan segala macam, itu bisa diatas.

Terkait pencetakan uang oleh BI jadi lebih murah dengan pembatasan transaksi tunai, ada perkiraan penghematan?

Data terakhir saya harus cek. Kan begini, BI kan cetak uang mungkin triliunan, artinya biayanya juga triliunan untuk untuk cetak uang, yang mungkin beredar sekarang, ratursan mungkin juga ribuan triliun. Data nanti saya cek lagi. Bayangkan saja gini khazanan BI gede akan, itu terus khazanah bank pun juga jadi sangat besar sehingga bank pun menjadi tidak efisien kan. Bank harus tumpuk duit, bank sentral juga. Itu bayangkan kalau itu hanya dipakai, secara marjinal saja keperluan khazanah yang kecil akan bikin bank efisien. Semua kan elektronik, kredit debet dilakukan elektronik. Itu yang otomatis berkurang, prediksinya yang kita harus hitung lagi. Karena gini, kita kan masih ada pengecualian juga. Kalau UU itu nanti diendorse, ada pengecualian juga daerah yang teknologi belum cukup terjangkau oleh misal satelite atau belum tercover masih akan dikecualikan. Lalu orang dengan kebutuhan masal, pabrik, akan dikecualikan.

Namun orang sering menafsirkan ini seolah-olah membatasi transaksi bisnis, salah itu. Justru kami ingin mendoorng transaksi bisnis dilaksanakan lebih efisien. Ada suara seperti itu, itu pemikiran bisnis tradisional. Kalau BI sudah efisien, bank juga pengelolaan cash lebih rendah, sistem secara perlahan akan jadi lebih efisien. Lalu siapa yang akan menerima manfaat terkahir? Masyarakat kan. Banyak multiplier effect ini.

Peningkatan penggunaan uang elektronik sudah berapa Pak?

Data nanti saya susulkan, namun memang belum menggembirakan. Masih di bawah target kami, sekitar 30-40% masih jauh. Ada kecenderungan masyarakat masih menganggap tidak confidence kalau pegang kartu, bagaimana tingkatkannya? Akan sangat tergantung pengamanan sistem dari hari ke hari. Kalau orang pakai ATM ada insiden salah transfer, hacking, itu bisa menimbulkan ketidakyakinan masyarakat. Pengamanan sistem harus terus diupayakan. Berbagai negara maju sudah bergerak less cash society. Saya pernah ke Inggris, saat melakukan pembayaran tapi dia tidak bisa menerima karena tidak menerima currency 50 poundsterling. Saya bingung, itu kan duit mereka. Itu kebijakan mereka, kasir itu tidak mau terima misal pecahan 50 poundsterling. Ini kebijakan yang nanti kalau dibawa banyak orang, korporasi laksanakan, karena pemerintah kan sudah mulai paksakan elektronik, APBD, termasuk bantuan sosial. Kalau korporasi juga, animo masyarakat makin kuat, kan akan jalan. Malah aneh kalau ada orang keluarkan uang Rp 5 juta, masa dibayar begitu saja dari dompet. Isu ini semestinya gampang dicerna. Itu nanti akan jadi kebutuhan.

Pecahan 10.000 Dolar Singapura, itu bagaimana dampaknya saat ini?

Itu kan baru kejadian itu. Kemarin kami baru tangkap dengan Bea Cukai, lalu oleh BNN karena ternyata ada kaitan dengan narkoba juga. Pakai duit pecahan itu. Kami sudah kirim surat ke otoritas Singapura, termasuk, kalau bisa itu ditarik, tapi mereka juga respon bukan untuk menarik. Tapi mereka akan monitoring lebih ketat peredaran uang dolar singapura 10.000 itu.

Kami minta cabut saja, karena kami lihat benar-benar dipakai untuk kejahatan. Karena 10 ribu itu, Rp 100 jutaanlah, satu lembar bisa segitu. Bisa dibayangkan kalau itu diakui di Singapura, duit mereka memang beredar tapi kan dipakai koruptor kita.

Tanggapan Singapura seperti apa?

Mereka concern, tapi memang tidak ada kata-kata mereka akan melarang. Yang ada mereka akan lebih mengontrol peredaran uang itu. Kami juga tidak tahu bagaimana mereka mengontrol, kalau perlu nanti kami komunikasi lagi dengan Financial Intelligent Singapore itu karena masih maraknya peredaran ini. Persoalannya itu, Singapura kan financial center. Kekuatan ekonomi regional lumyana kuat, convertability mata uangnya bagus. Ini kan jadi insentif untuk para penjahat. Ini tantangan dengan yang kita perlu kerja samakan dengan Singapura nanti.

Dana atau uang di luar negeri, nasabah Indonesia masih banyak kah? Lalu pengawasannya bagaimana dari PPATK?

Di kita ada namanya International Fund Transfer Instruction Report (IFTI). Itu dimonitor oleh kita, tidak ada pembatasan. Misal sekarang Anda transfer ke luar negeri itu masuk monitor kami. Kalau jumlahnya gede, itu apa urusannya? Ini akan dilihat apakah wajar, lalu dilihat profile, dari tabungan. Lalu apa kepentingan di sana. Kalau jelas, clear. Tapi banyak juga yang tidak clear, itu terutama mengaitkan satu data dengan IFTI, kalau ada yang mencurigakan dari bank atau dari mana pun, selain periksa rekeningnya akan kami periksa IFTI. Penjahat pun pada tahu kami monitor, itu mengapa mereka gunakan metode lain. Misal transfer tidak langsung, ke mana dulu atau ada yang disebut trade base money laundering contohnya. Itu pura-pura dagang lalu ada hara di-mark down-mark up. Tapi sebetulnya duit itu tidak ada kontrak masuk tidak ada barang, tapi seolah-olah dikirim ke luar. Itu kerjaan kami dan Bea Cukai dalam mengungkap banyak kasus, ini sebenernya bener tidak sih perusahaan ini melakukan transaksi seperti ini, ini untuk kepentingan siapa sih. Hal seperti itu menjadi bahan diskusi kami secara internal, dan kalau ada indikasi kuat kami hubungi negar tujuannya. Misal Singapura, kami minta cek kepemilikan rekening di Singapura bagaimana, jumlahnya berapa. Kekuatan PPATK di situ, karena kami bisa monitor tanpa batas jumlahnya berapa. Walau sistemnya berat.

Mayoritas nasabah Indonesia memang banyak yang punya rekening di luar negeri ya?

Wah, skalanya masih cukup. Paling tidak kan begini, sebenarnya normal-normal saja, orang melakukan ekspor impor. Mengakibatkan pengiriman uang itu, keluar masuk. Tidak ada masalah di tengah globalisasi, ada perdagangan internasional. Untuk settlement juga pertimbangan mereka sendiri, apakah di dalam negeri atau bank saya di luar negeri. Kalau normal tidak ada masalah. Yang salah adalah melarikan uang dengan berbagai tujuan kejahatan, money laundering, tax evasion, lalu pembayaran impor narkoba, human trafficking, dsb. Yang salah itu. Sekarang kalau kita lihat perbaikan sistem OECD, ini yang menurut saya harus memungkinkan orang pajak sendiri melakukan monitoring terhadap potensi warga negara yang menanamkan duit di luar negeri. Ditjen Pajak juga masih kerja sama dengan kami.

Tax Amnesty kemarin sudah masuk ke dalam negeri berapa?

Jumlah harus ditanya lagi ke Kementerian Keuangan, saat itu deklarasi mungkin sekitar Rp 5.000 triliun sebagai new take base. Nah tetapi intinya cara bacanya begini, tax amnesty kan waktu itu kita ingin cover siapa saja yang langgar pajak untuk menmasukan uangnya kepada kita. Intinya adalah pemerintah mengatakan mau kamu duit di sini atau di luar, kamu seharusnya bayar pajak agar negara tidak dirugikan. Ini sempat jadi kontroversi, kita sempat hampir di-blacklist di FATF. Persis itu terjadi ketika saya pertama masuk ke sini, saya harus bisa selesaikan jangan sampai kita di-blacklist karena membiarkan segala jenis kejahatan masuk untuk dibersihkan di kita. Padahal itu yang dimaksud tax evasion, kejahatan pajak. Di sini kemudian kita akan dengan cara seperti itu, asumsinya semua yang di-declare benar adanya, juga yang direpatriasi. Itu juga tentu akan meperkuat tax basis kita, lalu apa potensi ke depan tidak terjadi lagi? Belum tentu. Jadi artinya walau mereka declare sekarang dan nanti berbuat lagi itu sangat mungkin.

Sehingga check and balance system Ditjen Pajak dan PPATK harus terus dijalnakan, kami juga periksa tax compliance. Kami pun monitor petugas pajak juga kan, bukan semata kami monitor wajib pajak. Intinya adalah kami ingin bantu pemerintah meningkatkan pendapatan pajak kita seoptimal mungkin sehingga kita bisa istilahnya punya keleluasaan untuk berbagai pembangunan ekonomi kita. Supaya breathing space dari pajak semakin luas. Itu yang jelas bahwa upaya-upaya mengontrol orang kita yang melakukan penempatan uang di luar negeri jadi lebih terbuka.

Terutama karena ada automatic exchange of information yang di UU Pajak, kan juga ada kewenangan kita untuk monitor IFTI dan pertukaran informasi dengan intelijen keuangan negara lain agar mereka yang menaruh uang di luar sana semakin gerah, daripada ditaro di sana lebih baik balik saja ke sini. Ini fenomena peningkatan membawa balik, meningkat jelas. Kami bisa monitor dengan pengertian, banyak sekali orang kita diadukan oleh otoritas pajak di negara-negara tempat penempatan buat duit mereka. Jadi diadukan sebagai money laundering, tax evasion kepada kita. Sehingga kami mengasumsikan bahwa mereka itu sudah mulai gerah, sehingga uang-uang itu dipanggil ke sini.


Nah negara yang duit Indonesia-nya ditarik ke sini kan merasa dirugikan. Duit yang tadinya beredar ada di tempat mereka banyak jadi disedot ke kita, sehingga mereka yang tadinya tidak mempermasalahkan jadi mempermasalahkan. Itu salah satu indikator ada peningkatan uang masuk ke sistem keuangan kita, yang tadinya ditempatkan di sana. Selain itu, di negara-negara tax haven saja mereka sekarang mulai dipaksa dengan OECD recommendation, mereka dipaksa memberikan diclosure mengenai penempatan dana orang asing di negara itu kepada otoritas pajak negara asalnya. Praktis tidak bisa dikatakan tax haven lagi, ini kalau ujung-ujungnya ditaro di luar negeri dan pajaknya gede untuk apa. Mending taro di dalam negeri. Jumlah saya belum tahu, belum update. Mungkin di Kemenkeu dan BI. Tapi saya lihat ada increasing trend.

Untuk Dana Hasil Ekspor?

DHE dimonitor BI, kan dulu ada aturan harus dibayarkan dengan (ASI?) di bank domestik, untuk memaksa devisa hasil ekspor ditaro di bank kita agar memperkuat devisa. Tapi masalahnya tidak ada pembatasan waktu, kalau sekarang dimasukin besok dikeluarin, itu hanya persoalan detik saja. Dalam konteks globalisasi perekonomian sekarang, dan devisa yang rezim bisa bebas. Memang yang harus dilakukan sebenarnya, membangun sistem keuangan yang trust-worthy, kredibel. Jadi selain insentif, katakanlah terkait yield atau penempatan di pasar modal, atau tingkat suku bunga domestik seperti apa, adalah confidence-nya. Salah satu confidence yang mau kami lakukan adalah membersihkan sistem kita dari segala jenis duit hasil kejahatannya. Itu sebabnya kenapa kalau suatu negara diblacklist, itu akan langsung drop.
 

Cost of fund dan cost of borrowing akan naik semua, karena dianggap wah sistem itu rentan terhadap kejahatan. Duit kita tidak aman, kan bisa terjadi sesuatu, bank collapse, bank ditindak. Ini kredibilitas sistem harus ditingkatkan, seperti kemarin ketika Mutual Evaluation Report (MER) kita disetujui oleh Asia/Pacific Group (APG) on Money Laundering, itu adalah confidence untuk masyarakat dunia karena Indonesia sudah lebih dekat kepada standar internasional sehingga ada rasa confidence kalau mau taro duit di Indonesia. Itu yang menurut saya jadi salah satu poin positif kita untuk integritas sistem. Sehingga nanti yang mau ekspor barang dan jasa tidak taruh uang di luar, namun di sini. Dengan itu mudah-mudahan kita bisa meningkatkan kredibilitas.


Selama kita tidak mengontrol devisa, hanya itu upaya yang kita lakukan. Kita bangun sistem yang membuat orang itu confidence ke kita, itu interaksinya segala hal. Misal Singapura, infrastruktur hukum kuat, teknologi kuat, sistemnya kredibel, terus juga prospek keuntungan besar itu tidak usah khawatir duit akan ditarik. Syarat satu, sekarang yang dilakukan pemerintah adalah bottlenecking infrastructure. Jadi infrastruktur terus digenjot untuk diperbaiki, termasuk peningkatan daya listrik untuk investasi. Kalau masuk kan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Dengan infrastruktur terus jalan, juga stabiltas politik harus jadi concern juga. Makanya banyak yang mikir ini tahun pemilu nih, uncertainty, aman tidak aman, siapa yang akan terpilih. Market friendly atau tidak, secara praktis orang akan menghold investasi. Nanti dulu, tunggu dulu. Selalu faktor psikologis ada.

Namun kalau kita lihat di beberapa pemilu baik-baik saja, orang-orang kita sudah press in. Hanya di media sosial yang hingar-bingar, sebagian orang mengatakan Indonesia sudah ok. Tidak ada kekhawatiran apapun, biar saja ada ribut-ribut secara bisnis tetap jalan. Lama-lama bisa seperti AS yang ada gonjang-ganjing ya sudah biasa saja, itu normal dalam demokrasi. Tapi kemudian orang cenderung mengatakan saya tidak akan hold investasi. Itu sangat mungkin, sangat mungin tergantung bagaimana skala exposure bisnis dia. Kalau punya knowledge cukup di Indonesia tak akan terganggu ya. Masalah berikutnya adalah external, AS di bawah Donald Trump bukanlah AS yang kita kenal.

AS yang dulu concern dengan perekonomian global, kesejahteraan bersama, kelihatannya sudah ditinggalkan. Sekarang make america great again, secara ekonomi itu mereka membikin tetangga Anda miskin. Menjadi pengemis. Bersaing, bahkan perang dagang seperti dengan China. Dalam situasi itu, negara yan gkondisi ekonominya tidak terlalu strong dalam artian masih banyak mengandalkan investasi asing atau pasar modal, atau di FDI, ini akan mengakibatkan respon yang kurang postif dari mereka ke negara-negara tertentu. Sehingga cenderung, mereka mengembalikan duit ke AS. Lalu ada reversal uang keluar jadi susah, makanya BI naikkan suku bunga termasuk deposito agar menahan itu. Karena kita masih butuh uang itu dan untuk menambah supply valas dsb. Ini kan dihadapi semua negara yang mengatasinya tak bisa domestik, harus ada perjuangan cukup ketat untuk mengimbangi perkembangan global agar in favor ke Indonesia. Makanya, perlu sistem kredibel dan political stability ok. Kalau prospek keuntungan saya lihat Indonesia masih menjanjikan, keuangan sudah pasti ada keuntungan besar. Interest rate income besar, bank-bank di Indonesia. Sektor riil juga, pangsa pasar kita 260 juta orang. Apapun bisnis di sini bisa jadi besar, misal tusuk gigi saja bisnis itu bisa jadi kaya. Tapi coba kayak Brunei yang cuma 300 ribu orang, tidak semudah itu.

Selain itu Indonesia sedang dalam tahap embrace teknologi secara masif, sehingga konsumen kebutuhan barang high tech juga meningkat, fintech akan meningkat. Sehingga dari prospek ekonomi tak akan kehilangan competitiveness. Itu saya kira hanya prasyarat utama stabilitas politik. Indonesia itu memiliki politikus yang negarawan saja sudah blessed. Orang itu berkomitmen menjaga stabiltas negara kita, kebersatuan kita sebagai negara. Membangun bangsa Indonesia secara solid, dengan sendirinya ekonomi akan bergerak maju.

Ini kaitannnya dengan dana terorisme. Dari luar. Dari hasil-hasil penangkapan densus, terorisme itu dananya dari negara mana?

Ini isunya begini, terorisme ini kita harus tangani berbeda dengan money laundering. Pendanaan terorisme sebetulnya, terkait dengan kepercayaan. Ideologi. Orang-orang yang percaya ideologi tertentu cenderung akan melakukan apa saja bahkan tanpa support siapapun. Yang kedua, untuk membaut kekacauan di terorisme tak butuh duit banyak, bom panci saja tidak lebih dari Rp 1 juta. Beli panci, amonia, itu tidak butuh duit banyak. Yang terbesar saja dalam sejarah terorisme di WTC itu sekitar US$ 500 ribu karena butuh training pilot, dsb tidak butuh sampai US$ 1 juta.

Yang kedua, kita juga bisa melihat ada orang-orang tertentu yang tertarik jihad di Suriah misal. Nah, mereka itu kemudian ada yang menjanjikan secara online sehingga ada yang biayai, kemarin ke Marawi ada yang biayai kan ditemukan Densus 88. Ini karena mereka punya common ideology, sama dengan support ideologi tertentu dan tidak membedakan lagi kelas pendidikan atau kerja di mana. Itu tidak penting lagi, mereka kalau dukung akan lakukan itu. Pola ini kami belum bisa beri gambaran jelas apakah ada aliran dana yang flow constant dari negara tertentu. Tapi kami identifikasi negara-negara rawan di Timur Tengah sebagai negara yang patut diwaspadai, harus kita waspadai dalam pengertian bisa monitor IFTI, keluar masuk uang secara lebih bagus.

Seperti di Surabaya, itu dia punya penerimaan yang establish. Dia biayai, ajak anak istri untuk bom. Oleh karena itu isunya dalam pendanaan terorisme, deradikalisasi jadi hal penting oleh BNPT itu. Karena ideologi itu kan, kayak membentuk atau memblock akal sehat. Kalau seseorang percaya satu ideologi, orang lain tidak benar. Ada bagian di otak yang bisa lock, kalau kena orang lain salah semua. Itu sebabnya pendanaan terorisme jadi tidak mudah dipecahkan, karena butuh duit kecil, self financing, lonewolf. Lalu menggunakan medsos, minta sumbangan dengan harapan bisa disumbang. Sehingga dalam Perpres terkait NGO diajarkan dua hal, kalau menyumbang harus tahu siapa yang disumbang. Kalau menerima duit harus tahu siapa yang memberi. Nah itu diperkenalkan dalam konteks memberantas terorisme. Kalau mau menyumbang harus tahu, kalau dari luar negeri ada sumbangan harus tahu ini dari siapa. Jadi artinya kita bisa lihat perbaikan sistem untuk itu terus kami perbaiki.

Salah satunya platform yang bersifat sangat rahasia, antar berbagai lembaga intelijen keuangan di seluruh region Indonesia, ini harapannya supaya pengungkapan kasus-kasus terorisme bisa diungkap lebih cepat karena informasi langsung. Tapi ini sangat rahasia dan hanya dipegang oleh orang-orang tertentu. Jadi kalau Filipina mendeteksi ada suatu yang salah, transfer dana, immediately akan dikomunikasikan ke kita.

Skala kecil juga?

Termasuk skala kecil. Kalau terorisme tidak ada skala, kalau koruptor kecil-kecilan itu bukan prioritas. Jadi memang ada target tertentu, memang ada analisis macam-macam seperti keluarga, kelompok. Semua itu untuk mengungkap secara komperhensif satu dengan yang lain. Itu yang menjadi concern kita. Selain itu pembawaan uang, yang sifatnya langsung. Jadi cash lagi, misal di perbatasan. Untuk mendorong itu, diberikan cash juga salah satu yang harus kita monitor dengan baik. Nah sistem ini yang kemudian tadi kami ingin bangun untuk melengkapi semua sistem yang sudah ada. Dengan platform itu bisa menjangkau lebih komperhensif, hingga keluarga dan kelompok. Hubungan keuangan. Jadi tidak ada surat menyurat, waktunya cepat itu. Kalau terorismen kan jago-jagoan, seperti game. Mereka kan selalu bergerak dalam waktu yang tidak terduga dan itu harus dimasukkan dalam analisis kita.

 

Sumber: CNBC Indonesia

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar