Wawancara Kepala PPATK: Perkembangan Penegakan Hukum

| 0

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memiliki peran dalam mendukung upaya penegakan hukum, khususnya terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme. Kepala PPATK Dr. Muhammad Yusuf menjawab pertanyaan Tim Website PPATK terkait kondisi penegakan hukum di Indonesia. Berikut petikan wawancara lengkapnya.

 

1. Pandangan Bapak terkait kondisi penegakan hukum di negara kita saat ini?

Jujur saat ini saya masih belum puas. Tapi saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Saya ingin kita semua, yang merasa penegak hukum atau bagian dari penegakan hukum, mau dan sanggup untuk melakukan introspeksi diri. Introspeksi tidak dalam perspektif basa-basi, tapi harus sadar betul bahwa yang dipegang itu adalah amanah. Kalau amanah ini tidak digunakan sebagaimana mestinya, dia harus sadar berarti dia adalah seorang munafik, dan munafik itu letaknya di kerak neraka. Itu dulu yang harusnya terbangun di benak penegak hukum sehingga tidak berani bermain-main. Yang kedua, yang perlu mereka sadari adalah mereka digaji dari uang rakyat. Artinya manakala berkhianat mereka tidak hanya berkhianat pada satu orang, tetapi banyak orang. Kalau dalam bahasa agama, ini istilahnya fahsya, dosa berdampak sosial. Kalau saya melakukan kecurangan pada satu orang, saya minta maaf pada orang itu cukup. Tapi kalau banyak orang?

 

2. Perbaikan seperti apa yang bisa dilakukan guna meningkatkan performa para penegak hukum?

Tadi saya sudah sampaikan untuk melaksanakan introspeksi. Itu dari segi inner mereka sendiri. Yang kedua, dari segi wawasan dan kapasitas, penegak hukum harus sadar sudah memiliki kemampuan memadai atau belum. Kalau belum mampu ya harus belajar. PPATK punya beberapa fasilitas, ada sosialisasi, asistensi, konten website yang bisa dipelajari, e-learning, silakan dipakai, silakan dimanfaatkan. Kita juga bisa diminta untuk menghadiri seminar sebagai narasumber. Di samping ilmu pengetahuan, perlu juga wawasan, termasuk network di situ. Sehingga dia bisa memanfaatkan bagaimana menggunakan PPATK guna memperkuat penegakan hukum, seperti meminta ahli dari PPATK. Tanpa network tentu tidak bisa.

Yang ketiga, dari segi transparansi. Karena di depan kita bicara budaya malu, logikanya kalau semua itu bisa dipantau masyarakat secara terbuka, mestinya dia malu kalau tidak proper, malu kalau berkhianat, malu kalau tidak profesional. Yang keempat, yang namanya pengawasan melekat, internal control, tidak boleh cuma jargon. Tapi perlu diimplementasikan. Internal control bisa dilakukan atasan kepada petugasnya, bisa sesama teman, bisa seperti yang dibangun PPATK, whistle-blowing system. Terakhir, perlu dibiasakan adanya eksaminasi. Kalau bahasa ekonominya audit. Sudah benar atau belum penegakan hukum yang dilakukan. Dengan begitu bisa ada koreksi. Eksaminasi bisa dilakukan secara komunal, ada PPATK, ada penyidik walaupun bukan penyidik yang bersangkutan, ada kejaksaan, ada pengadilan, ada Komisi Yudisial, dan di-publish. Sehingga kalau itu bagus bisa jadi model, sedangkan bila jelek dia akan malu. (HH/ES/TA)

Submit
Komentar (0)
Tinggalkan Komentar