PENILAIAN RISIKO REGIONAL TERHADAP SEKTOR NPO & PENDANAAN TERORISME

| 0
S ebagai salah satu wadah penampung aspirasi masyarakat yang sudah dikenal luas, organisasi kemasyarakatan (Ormas) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Non-Profit Organization (NPO) merupakan elemen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di seluruh dunia. Lahirnya NPO yang berasal dari masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat terbukti mampu menjadi armada dalam menyuarakan tuntutan masyarakat kepada Pemerintah. Kemampuan NPO untuk merangkul seluruh lapisan masyarakat secara luas, terbukti menjadi kekuatan yang dimiliki oleh NPO, selain itu NPO juga memiliki kemampuan pendanaan secara mandiri melalui pengumpulan dana secara langsung baik dari anggota maupun sumbangan masyarakat luas (donasi) sehingga eksistensinya murni aspirasi masyarakat yang bebas dari campur tangan Pemerintah. Namun demikian keberadaan NPO bukanlah bebas sepenuhnya dari kepentingan, karena tidak jarang pihak yang memberikan pendanaan kepada NPO baik langsung maupun tidak langsung sebenarnya adalah pihak yang memiliki kepentingan tertentu yang ingin mewujudkannya melalui eksistensi NPO. Dalam konteks rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme (APUPPT), independensi pendanaan NPO justru memunculkan risiko yang tidak hanya merongrong dari sisi keuangan dimana NPO dapat menjadi sarana pencucian uang melalui penempatan aset atas nama NPO, namun lebih jauh NPO juga dapat disalahgunakan sebagai sarana dalam merongrong stabilitas keamanan negara dalam bentuk pendanaan terorisme. Terhadap risiko NPO untuk kegiatan pendanaan terorisme ini, badan anti pencucian uang dunia atau yang lebih dikenal dengan sebutan Financial Action Task Force (FATF), pada Februari 2012 telah menerbitkan rekomendasi no. 8 yang mengatur khusus mengenai NPO agar terhindar dari penyalahgunaan untuk pendanaan terorisme. Rekomendasi tersebut mencakup ketentuan dimana setiap negara di dunia harus mengkaji kecukupan perangkat hukum terhadap entitas yang dapat disalahgunakan untuk pendanaan terorisme. Melalui rekomendasi ini, secara spesifik setiap negara diharapkan untuk menentukan langkah-langkah pencegahan dan pemberatasan tindak pidana pendanaan terorisme melalui sektor NPO. Untuk menyikapi hal tersebut, PPATK pada tahun 2015 telah melaksanakan riset penilaian risiko nasional (NRA) terhadap tindak pidana pendanaan terorisme serta ditahun 2016 PPATK juga telah melakukan riset penilaian resiko sektoral NPO terhadap tindak pidana pendanaan terorisme yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi bentuk badan hukum, jenis kegiatan, dan wilayah operasional NPO yang berisiko tinggi terhadap pendanaan terorisme di Indonesia. Kedua riset tersebut telah menginisiasi dimulainya penanganan pendanaan terorisme di Indonesia yang berbasis risiko, meskipun diakui skalanya masih bersifat nasional sedangkan penanganan isu terorisme idealnya bersifat multijurisdiksi. Lebih jauh, sebagai wujud komitmen negara Indonesia dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme melalui NPO, untuk memenuhi rekomendasi FATF no. 8 serta untuk menghadapi Mutual Evaluation Review (MER), di tahun 2017 ini Indonesia bersama negara anggota ASEAN diantaranya Malaysia, Filipina, Thailand, Brunei, Singapura beserta negara Australia dan New Zealand bersepakat untuk melakukan riset bersama guna menilai risiko NPO di kawasan ASEAN dan Pasifik terhadap pendanaan terorisme dengan harapan hasilnya dapat menjadi panduan bersama dalam memahami karakteristik pendanaan terorisme melalui NPO di kawasan serta untuk dijadikan panduan (bagi internal negara masing-masing) dalam memitigasi risiko pendanaan terorisme yang memanfaatkan NPO.